[Ch.121] MY EVIL BOSS: NOTHING IN BETWEEN - Baca Novel Dewasa 21+ Online

๐Ÿ˜Ž Webnovel Anti Drama Platform ๐Ÿ˜Ž Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐Ÿฅณ

Ch. 121 - Uneasy

Penyakit yang beberapa waktu lalu membuatnya tidak nyaman telah sembuh. Tapi, gosip kehamilannya belum reda. Sedangkan Harish, dia tidak kembali sesuai janjinya. Tidak tahu entah untuk berapa lama lagi. Tapi Sabine sudah lebih dulu merana berkat ibunya.

Sejak pertemuannya dengan Vivian Salim hari Minggu lalu yang membuatnya benar-benar terganggu, Sabine mulai mengabaikannya. 

Kenapa kamu tidak mengangkat teleponku?

Sabine tahu apa yang akan ia dengar darinya jika menjawab teleponnya; Harish akan meminta penjelasan mengapa ia kembali menghindarinya setelah akhir-akhir ini Sabine meresponnya dengan cukup bagus dan itu seakan memberinya harapan bahwa mereka bisa kembali lagi. 

Apa kamu marah?

Tidak. Justru ia merasa bersalah dan tidak bisa tenang. Pada akhirnya ia hanya menulis satu baris pesan untuk sekedar meredakan perasaan tak enak itu.

Tidak. Aku hanya sibuk dan lelah.

Harish tampaknya sangat mengerti dengan tidak mengirim pesan atau menelepon lagi. Tapi, bukan berarti ia berhenti. Pada saat-saat tertentu dengan jarak yang cukup lama ia kembali menghubungi Sabine yang membalas sekenanya.

Mungkin Vivian Salim sudah merencanakan ini sejak lama: mengeluarkan Sabine secara paksa dari Athlon selagi Harish tidak ada. Mungkin Vivian sendiri yang membuat putranya begitu sibuk di luar sana sehingga ia akan punya banyak waktu untuk mengurus masalah ini dan memastikan Sabine akan berhenti bekerja.

Sabine hanya tinggal menunggu kapan keputusan Vivian akan efektif. 

Saat telponnya berbunyi dan manajer HRD memanggilnya, ia sudah tahu bahwa ini akan menjadi akhir baginya di Athlon.

“Bagaimana kabar kamu, Sabine?” Vincent menyapanya begitu ia masuk ruangan.

Sejak beberapa hari lalu, Sabine juga sudah tahu bahwa Manajer HRD itu akan memberinya kabar buruk; tapi mungkin berarti bagus untuknya.

“Saya memanggil kamu ke sini untuk memberitahukan bahwa semester baru kuliah sudah dimulai,” kata dia. “Kamu sudah bisa mendaftar secara online.”

Sabine termangu; bingung dan heran. Bukankah seharusnya penangguhan dirinya telah dicabut karena permintaan Vivian?

“Kamu sudah membuat pilihan?” tanya dia.

Sabine tidak langsung menjawab. “Saya... masih sedikit bingung dengan jurusan yang akan saya ambil,” kata Sabine, berpura-pura bahwa ia telah membaca email Vincent beberapa waktu lalu. “Tapi, Pak... ada sesuatu yang ingin saya tanyakan.”

“Ya, soal apa?” Vincent menanggapinya dengan begitu biasa.

“Penangguhan pengunduran diri saya. Apakah sudah ada progres soal itu?” tanya Sabine akhirnya.

Vincent terdiam beberapa saat. “Maaf, Sabine. Saya belum mendapatkan perintah dari Pak Harish,” jelas dia. “Lagipula pengunduran diri kamu sudah kedaluarsa dan kamu juga sudah menandatangani kontrak yang baru. Kontrak kerja kamu juga masih belum habis.”

“Bukankah ini wewenangnya Chief HR?” tanya Sabine.

“Ya, tapi Chief HR juga bertindak sesuai dengan arahan dari CEO,” jawab Vincent.

Kenapa Kellan tidak melakukan perintah Vivian Salim? Hal itu lagi-lagi membuat Sabine berpikiran buruk. Kalau Harish sampai tahu hal ini, kecurigaannya seperti tempo hari lagi, akan cukup merepotkan. Tapi sepertinya ia memang tidak tahu bahwa ibunya sudah mulai menintervensi permasalahan bodoh ini.

“Atau begini saja... bagaimana kalau kamu mencoba  untuk mengajukannya sekali lagi?” ujar Vincent.

Sudah tidak perlu, jawab Sabine dalam hati. Jika ia mau, ia hanya perlu membolos kerja untuk selamanya dan hidup seperti ratu. Dulu sebelum kesalahpahaman berakhir, ia terpaksa datang ke kantor hanya karena Harish menerornya dengan mengancam akan memberitahu ayahnya tentang semuanya. Namun sekarang... tidak perlu serepot itu. Tidak perlu melakukan yang sia-sia seperti mendaftar ke universitas hanya untuk background karir.

Karir bukan prioritas utama; bahkan sejak awal ia bekerja. Ia bekerja hanya untuk bertahan hidup. Sekarang bertahan hidup baginya bukan lagi tentang mencari uang untuk sewa apartemen, makan atau membeli barang-barang tidak penting demi kesehatan mental. Harish bisa saja mengirimkan jumlah yang banyak ke rekeningnya setiap bulan sehingga ia tidak perlu mengharapkan gaji lagi. Namun uang hasil kerja kerasnya dari menahan hinaan sembari serius bekerja terasa lebih manis. Lagipula bekerja hanya karena telah terbiasa; itulah yang membuat hidupnya sedikit normal.

Bertahan hidup baginya sekarang lebih seperti agar tidak menghabisi nyawanya sendiri. Sekarang ia juga tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk hidupnya sekali pun ia berhasil mempertahankannya.

Begitu tiba di rumah setelah satu hari melelahkan lainnya di kantor, ia kembali memandangi snowball Robyn yang sengaja ia taruh di meja nakas –agar bisa memandanginya sebelum tidur. Kadang ia memeluknya penuh kerinduan sampai menangis.

Lalu handphone-nya berbunyi lagi pada pukul sembilan malam; Harish menelepon dan sepertinya juga telah mengiriminya beberapa pesan.

Namun, lagi-lagi Sabine menghiraukannya dan menenggak dosis obatnya yang terakhir. Sebelum tidur Sabine mematikan bunyinya; lalu menaruhnya jauh-jauh agar ia bisa tidur dengan tenang –obat dokter membuat matanya cepat mengantuk dan memang dimaksudkan agar ia bisa beristirahat lebih banyak. Lagipula besok ia harus ke kantor. 

Kondisi kesehatannya baru saja membaik dan ia tidak ingin kembali berada di fase sakit-sakitan yang membuat raganya tersiksa. Ia telah menenggak banyak obat-obatan selama hampir satu bulan dan ia membenci rasa pahitnya; seperti itu jugalah hidupnya saat ini –pahit. Menenggak obat pahit sama dengan meminum hidupnya yang pahit hingga menghasilkan rasa yang begitu ironis.

Jam setengah satu dini hari, Sabine telah tertidur lelap, akan tetapi tiba-tiba saja ia terbangun oleh suara gedoran pintu yang terdengar begitu keras. Hanya butuh sepuluh detik untuk menyadari kalau itu Harish –memang siapa lagi yang segila itu dalam hidupnya?

Dan dengan panik Sabine mengambil handphone-nya di atas meja. Banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan dari pria gila itu. 

Berurusan dengan Harish yang marah tidak pernah mudah.

***

Kapan mereka jadiannya? Berantem mulu. 

Iya nih, aku juga bingung. Namanya juga toxic relationship. Posesifnya udah kayak pacaran, tapi ngasih kepastian aja enggak. Kalau kalian jadi Sabine, kalian bakal ngapain?

Kalau aku sih, dibucinin cowok kek Harish ya manut-manut aja kali ya. Mau dia slengki ama yang lain juga aku bakal pura2 nggak lihat. Ya, cowok ganteng tajir melintir bebas sih ya. Seleranya rada lain dari cowok2 yg B aja. Yang penting dia hilang, aku healing, belanja belanji, liburan. Karena cinta aja nggak bisa check out keranjang shopi ^_^

Maaf agak ngelantur..

btw, buat teman2 yang udah komen di chapter sebelumnya makasih banget udah setia. 
 maaf aku nggak bisa langsung balas di form komentar; fitus reply-nya masih bermasalah karena aku belum perbaikin. lagi sibuk nulis soalnya. Hehehhe

WARNING: Chapter2 berikutnya akan sangat tidak ramah dan aku sarankan setelahnya kalian harus bertobat ya ^_^

Thanks for reading anyway.

Dear readers tersayang, jangan lupa untuk support aku dengan share link blog ini biar makin banyak yang main ke sini untuk baca-baca. Untuk yang pingin support lebih jauh kalian bisa klik iklan --jangan bom klik (cukup sekali saja) dan ini GRATIS ya. Buat readers yang ingin memberikan donasi, kalian bisa beliin aku cendol aja via Trakteer. Apa pun bentuk dukungan kalian baik berupa share, comment, klik iklan atau donasi sangat berarti untuk blog ini. Sekaligus penyemangat buat aku  agar tetap menulis dan bisa memberikan cerita gratis untuk kalian. Terima kasih. Val.
Posted by
Home Stories Wattpad Instagram Facebook TikTok Threads
Tautan disalin

Komentar

3 comments