๐ Webnovel Anti Drama Platform ๐ Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐ฅณ
Ch. 63 - Echoes Return
Suatu malam, Sabian pulang jauh lebih larut dari biasanya. Matanya sayu, bahunya jatuh, dasinya bahkan tidak sempat ia lepaskan dengan rapi. Sandrine yang sudah menunggunya di kamar melihat itu semua, lalu menutup laptopnya.
“Kamu kelihatan hancur,” ujarnya pelan, mendekat dan membantu melepaskan jas Sabian.
Sabian hanya mengangguk, tersenyum tipis. “Hari ini benar-benar menggilas otakku. Aku bahkan sempat berpikir untuk tidur di kantor.”
Sandrine mengusap bahunya, berniat menyuruhnya langsung beristirahat. Namun, begitu ia mendekat, Sabian malah menarik pinggangnya, menahan tubuh istrinya agar tetap di dekatnya. Ada sesuatu di matanya, letih, tapi hangat dan penuh keinginan.
“Sabian…” Sandrine menatapnya ragu. “Kamu terlalu lelah. Kita bisa...."
“Aku lelah, iya,” potong Sabian, napasnya berat, tapi bibirnya tersenyum kecil. “Tapi aku juga rindu. Dan kadang rindu jauh lebih menyiksa daripada lelah.”
Sandrine terdiam, tubuhnya seketika melembut dalam pelukan itu. Ia tahu Sabian tidak pernah memaksa, tapi malam ini jelas sekali bahwa keinginannya lahir dari cinta, bukan sekadar gairah.
Meski gerakannya lebih pelan dari biasanya, Sabian tetap konsisten memperhatikan setiap detail: menyingkirkan helai rambut dari wajah Sandrine, menatap matanya seolah ingin menegaskan bahwa ia hadir sepenuhnya meski tubuhnya payah.
Di sela ciuman yang dalam, ia terkekeh kecil. “Kalau aku ketiduran di tengah jalan, kamu harus berjanji akan membangunkanku besok.”
Sandrine tertawa, menampar bahunya pelan. “Dasar gila.”
Ketika akhirnya mereka berbaring berdekapan, napas Sabian masih berat, wajahnya memerah karena kelelahan. Namun ia tersenyum puas, menempelkan keningnya ke kening Sandrine.
“Lihat? Aku masih hidup,” bisiknya dengan suara serak.
Sandrine menutup matanya, dadanya bergetar karena emosi yang menyesak. Malam itu, ia merasa sekali lagi: Sabian tidak pernah mencintainya setengah-setengah. Bahkan dalam keadaan terlelah sekalipun, ia tetap memilih Sandrine, sepenuhnya.
**
Sabian benar-benar jatuh tertidur di pelukan Sandrine. Wajahnya tenang, senyum tipis masih tersisa di sudut bibirnya.
Sandrine menatap lama, mengusap rambut suaminya, dan merasakan dadanya dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan. Sabian tidak pernah melihat cinta sebagai sesuatu yang bisa ditunda. Sandrine tersenyum sendiri, merasa aman dan dipeluk oleh keteguhan yang jarang ditemuinya di dunia ini.
Tiba-tiba, handphone di sampingnya berdering, memecah keheningan yang lembut itu.
Lampu layar menampilkan nomor asing dengan kode +1 717. Sandrine mengerutkan alis, menatap layar dengan rasa penasaran bercampur jengkel. Amerika, jelas. Sudah terlalu sering panggilan semacam ini mengganggu malamnya.
Ia mengangkat telepon, nada sopan otomatis mengalir.
“Ya?”
Di ujung sana, awalnya hanya terdengar hening. Napas ragu-ragu terdengar, sebelum suara perempuan terdengar pelan.
“Eh… halo. Apa... aku bisa berbicara langsung dengan Trias Tjaraka?”
Seorang perempuan canggung berbahasa Inggris dengan aksen Amerika tentunya.
Sandrine menegakkan tubuhnya, nada profesional keluar otomatis. “Siapa ini?” suaranya agak ketus, tapi tetap tenang.
Ada jeda. “Namaku... Hannah Sawyer.”
Sandrine hampir ingin menutup telepon itu, tapi ada sesuatu yang menahannya. Dari nada bicara wanita di seberang, ia bisa merasakan urgensi yang berbeda, sebuah ketegangan yang tidak biasa.
“Maaf, Ms. Sawyer. Di sini sudah pukul dua pagi. Aku tidak bisa menyambungkanmu dengan Mr. Tjaraka jika tidak ada yang penting."
Sandrine menambahkan nada menenangkan, tapi tetap ingin mendapat informasi.
Wanita itu menghela napas panjang. “Aku… aku tahu Mr. Tjaraka sedang mencari anaknya yang melarikan diri. Dan aku tahu di mana dia.”
"Dengar, Ms. Sawyer, aku sudah lelah dengan ini, aku...." kalimat Sandrine terhenti saat panggilan itu terputus tiba-tiba.
Sesaat kemudian, beberapa pesan langsung masuk: foto-foto terkirim melalui aplikasi pesan.
Sandrine menatap layar. Matanya membesar. Tak percaya apa yang dilihatnya.
Dalam foto itu, Axel terlihat berbeda dari yang ia kenal dulu—tinggi, tubuhnya sudah dewasa dan berotot. Ia berdiri di tengah sebuah peternakan, memegang senjata berburu, di samping seekor rusa hasil buruan. Di belakangnya, beberapa orang Amerika tampak seperti rekan berburu. Mata Axel menatap kamera dengan ekspresi tegas, serius, bahkan sedikit ceria. Detil itu membuat dada Sandrine berdebar. Anak yang dulu ia kenal kini telah menjadi sosok yang benar-benar berbeda.
Tak lama kemudian, telepon berdering lagi. Hannah kembali menelepon.
“Sekarang… apa kamu percaya?”
Sandrine tetap tenang tapi tegas. “Kalau begitu, katakan di mana dia sekarang,”
Hannah terdengar ragu, hampir tercekik oleh protokol yang ia ikuti. “Aku… tidak bisa mengatakannya kalau aku tidak berbicara langsung dengan Mr. Tjaraka.”
Sandrine menarik napas panjang, menyandarkan diri di kursi, menatap Sabian yang masih terlelap. Perlahan, ia menyadari ketenangan malamnya kini terasa rapuh, bayangan masa lalu Axel hadir kembali dengan jelas.
“Baik. Besok aku akan menghubungimu lagi, setelah aku menyampaikan ini padanya.”
Ia menutup telepon, menatap layar sebentar, hati berdebar campur aduk antara cemas dan terancam.
**
Sandrine duduk di sebelah Sabian, menatap layar handphonenya sesaat sebelum menaruhnya di meja. Meski suasana pagi biasanya penuh ketenangan, hatinya masih berdebar memikirkan foto-foto Axel yang diterimanya tadi malam.
“Ada apa?” Suara Sabian terdengar penuh perhatian seolah ingin memastikan tidak ada ancaman yang datang.
Sandrine menoleh sejenak, menutupi rasa cemasnya dengan senyum tipis.
“Biasa… ada yang mau memberi tahu lokasi anak bosku yang kabur,” jawabnya cepat, mencoba terdengar santai sambil mengambil seteguk kopi.
Sabian hanya mengangguk perlahan. Dia sudah terbiasa dengan rutinitas Sandrine menerima telepon semacam itu, bahkan di tengah malam atau pagi hari sebelum memulai hari mereka. Namun ekspresi Sandrine yang sedikit tegang membuatnya penasaran.
“Penipuan lagi?”
Sandrine menatap layar handphone
Hatinya bergejolak, meskipun sinar matahari menenangkan wajahnya.
“Apa kamu pikir ini bukti yang cukup untuk dilaporkan ke bosku? Biasanya, setiap kali aku menerima telepon semacam ini, Trias tidak pernah peduli. Dia selalu menyuruhku mengabaikannya.”
Sabian merenung sejenak, menatap foto-foto itu dengan cermat sambil memakan sepotong roti.
“Ya, ini tampak asli,” ucapnya akhirnya. “Seperti diambil oleh seseorang yang mengenal anak itu dengan sangat baik.”
Setiap gambar menangkap momen yang berarti, bukan sekadar diambil sembarangan. Jika seseorang hanya menguntit, hasilnya pasti berbeda.
Ia mengangkat alis, lalu berkomentar ringan, “Tetapi, apa masuk akal orang seperti bosmu tidak mengetahui di mana anaknya berada selama ini?"
Sandrine termenung, menatap foto-foto Axel di layar handphone sambil mengaduk kopi di cangkirnya. Sabian memperhatikan diamnya, lalu bersuara ringan tapi penuh pertimbangan.
Segala hal tentang keluarga itu selalu diselubungi misteri tak terjawab. Sandrine hanya mengetahui sejauh mana ia boleh tahu.
“Kalau kamu tanya pendapatku,” katanya, “aku punya firasat kuat bahwa Trias sebenarnya tahu di mana anaknya berada.”
Sandrine menghela napas pelan, hatinya ikut bergetar. Wajar juga kalau Trias tidak gegabah kali ini. Bukti nyata sudah ada: setelah Axel diseret pulang dari Jerman ke Boston, bahkan setelah lulus kuliah, ia kabur lebih jauh dengan perencanaan yang begitu matang.
Sandrine mengangguk, mencoba menenangkan diri. Senyum tipis tersungging di wajahnya, meski bayangan Axel masih menghantui pikirannya.
Sandrine menarik napas panjang, hatinya campur aduk. Ia menunduk, menatap suaminya, kemudian layar handphone, mencoba menenangkan diri. Sabian tiba-tiba meraih tangannya, menggenggam lembut seolah mengerti kegelisahannya.
Momen sarapan pagi yang seharusnya tenang itu kini terasa berat, penuh bayangan yang perlahan mulai nyata.
Ternyata badai datang lebih cepat dari yang dia kira.
Ia menelan ludah, pikiran mulai bercampur: bukan soal Trias, melainkan… jika Axel benar-benar kembali, rumah tangganya bisa tersentuh bayangan lama. Ia teringat candaan Nixie saat persiapan pernikahannya
“Tentu ini akan jadi pernikahan yang indah, kecuali Axel ada di sini.”
Dunia baru yang ia bangun bersama Sabian, ketenangan pagi, mungkin akan berubah mulai mulai hari ini.
Min, alur ceritanya agak bertele2.. Trus karakter sabina nya knp alaih bingit ya, dikit2 kabur, dikit2 ngambek :))
Coba bikin sabina nya berubah ceria, kuat tapi tetap anggun dan klo ngomong ke haris ga melulu teriak2, hehehe.. Anyway, happy writing!..
psst... aku gak pernah tulis suatu plot tanpa alasan mbak. jadi tenang ajja ya. semua uneg-uneg pembaca sudah terakomodir di chapter-chapter yang belum diposting (bahkan jauh sebelum saya dapat komentar yang bagus seperti ini). mohon maaf untuk updating yang terlalu lama.... hehhehe. thanks for reading and commenting...
Ak adalah org yang selalu randomly ngebaca novel" online..
Dalam satu malam saya definetly tidak tidur sma sekali karena terus dan terus ngebaca tiap chapter. Nya... I like it sooo much about this story.. But i falling in love with this author.. At suddenly. Ak awam ttg cara nulis or something else about typo. Kamu udh bkin as suddenly falling in love.
Terima kasih....
BTw, chapter baru sudah posting lho....