π Webnovel Anti Drama Platform π Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hariπ₯³
Ch. 67 - Reclamation
Sejak kepulangannya dari Bali, ada sesuatu yang berbeda dari Axel. Bukan hanya luka-luka yang membiru di wajahnya atau langkahnya yang terseret seperti seseorang yang baru saja pulang dari medan perang, perubahan itu lebih dalam, lebih diam, lebih berbahaya.
Sandrine kira Axel akan kembali tenggelam dalam kebiasaan lamanya: minuman, perempuan, keributan, pelarian tanpa arah. Tetapi ketidakteraturan itu justru lenyap. Ia tidak lagi menghabiskan malam-malamnya di klub. Tidak lagi masuk kantor dengan pakaian berantakan. Tidak lagi membuat Jay sibuk memadamkan jejak hidupnya.
Axel menjadi… hening.
Teratur dengan cara yang tidak wajar. Tenang dengan cara yang membuat Sandrine merinding. Ia pikir ini hanya cara Axel menepati janji pada ayahnya untuk serius dengan bisnis keluarga sebagai ganti perpanjangan waktu agar lebih lama di Bali; entah demi memperbaiki hubungan yang terputus dengan sepupu yang paling disayanginya atau mengejar-ngejar Remi yang tak tertarik padanya secara ugal-ugalan.
Dari kejauhan, Sandrine bisa merasakan sesuatu yang menggeser tatanan hidupnya sedikit demi sedikit. Axel tidak lagi memandangnya dengan muak seperti sebelumnya. Tidak lagi mengabaikannya seolah ia tidak ada. Tatapannya, ketika sesekali mereka bertemu pandang di lorong kantor, tidak lagi kosong. Ada kilatan lain di sana, sesuatu yang terlalu padat untuk dibaca.
Seperti seseorang yang mencatat.
Seperti seseorang yang mencari celah.
Seperti seseorang yang baru saja mengingat sesuatu yang seharusnya dilupakan.
Jay terus melaporkan kegiatannya pada Trias, tetapi laporan itu tidak lagi terdengar seperti daftar kekacauan. Yang Sandrine dengar kini adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi beberapa bulan lalu.
Axel mulai datang ke kantor lebih pagi. Tidak dengan langkah sempoyongan, tidak dengan kemeja kusut atau sisa malam yang menempel di wajahnya. Ia datang ke Infinite Hotel dengan rapi, wangi seperti uang, dan tatapan yang jernih, jernih dengan cara yang membuat Sandrine sulit membaca apa yang ada di baliknya.
Layar laptopnya tidak lagi menjadi dekorasi kosong. Ia membuka laporan-laporan, membaca ulang proposal proyek, mencatat hal-hal yang menurutnya janggal. Perubahan itu tiba-tiba, tetapi tidak kasar. Lebih mirip metamorfosis yang terjadi begitu bersih hingga hampir tidak menyisakan jejak masa lalunya.
Kebiasaan buruknya menguap begitu saja. Tidak ada minuman. Tidak ada perempuan. Tidak ada drama klub malam. Seolah-olah seseorang menghapus seluruh kehidupannya sebelumnya dan menggantinya dengan satu versi Axel yang baru, lebih tenang, lebih tertata, lebih… dewasa.
Yang paling mengejutkan adalah ketika Axel sendiri meminta dilibatkan ke dalam proyek Maestro. Ia tidak sekadar ingin hadir. Ia ingin memahami. Menguasai. Duduk bersama Kellan dan Richard. Melengkapi formasi yang paling diinginkan Trias selama ini.
Pada rapat-rapat berikutnya Sandrine menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, Axel tidak hanya mendengarkan. Ia menganalisis. Ia bertanya dengan tepat. Memotong angka-angka yang tidak logis. Menyisir risiko yang tidak terlihat. Menggarisbawahi hal-hal yang bahkan pun tidak sempat orang lain pikirkan.
Axel duduk di ujung meja, punggung tegap, jemari mengetuk ringan buku catatan. Tidak gelisah. Tidak impulsif. Tenang dan terukur… seperti yang selalu diinginkan Trias. Seperti pewaris yang akhirnya mulai mempelajari kerajaan yang akan menjadi miliknya.
Setiap kali ia mengutarakan pendapat, ruangan menjadi lebih diam. Bukan karena Axel mengintimidasi, tetapi karena tidak ada yang menyangka pemuda itu mampu bicara sejelas itu. Sandrine yang duduk tidak jauh darinya juga merasakan hal yang sama. Ia tampak cerdas. Ia tampak matang. Ia tampak… berbahaya dengan caranya sendiri.
Axel berubah menjadi versi terbaik dirinya yang seharusnya membuat semua orang lega. Tapi di balik ketepatan setiap analisisnya, di balik kedewasaan yang mendadak tumbuh tanpa peringatan… ada sesuatu yang membuat Sandrine gelisah. Sesuatu yang tidak pernah Axel ucapkan. Namun terasa dari arah pandangnya. Seolah-olah seluruh perubahan itu tidak terjadi karena Axel ingin menjadi pewaris yang baik. Seolah masa-masa nakalnya telah berakhir.
Melainkan karena ia kembali mengingat satu alasan kuat untuk tetap tinggal.
Satu alasan yang mulai memiliki nama.
Dan semakin lama, semakin jelas bahwa tiap langkah Axel mengitari sesuatu yang tetap poros yang baru saja ia temukan kembali setelah bertahun-tahun hilang.
Sandrine.
Ia tidak berbicara. Tidak mendekat. Tidak menyentuh. Tidak meminta apa-apa. Tapi cara Axel memandang Sandrine belakangan adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Bukan cinta. Bukan benci. Bukan keinginan yang labil seperti dulu.
Ini berbeda.
Axel melihatnya seperti seseorang yang baru saja menemukan kebenaran yang telah dicuri dari hidupnya. Sesuatu yang seharusnya ia miliki, tetapi jatuh ke tangan orang lain. Sesuatu yang kembali padanya terlambat, namun tetap sah miliknya menurut logika yang hanya ia pahami sendiri.
Di meja kerjanya, Sandrine sering merasakan bulu kuduknya naik tanpa alasan. Ia bekerja seperti biasa, tersenyum seperti biasa, menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi ia tahu ada sepasang mata yang mengikutinya. Tidak selalu, tidak terus-menerus, tapi cukup sering untuk membuatnya menyadari bahwa batas antara masa lalu dan kini sudah berubah bentuk.
Axel tidak lagi menjauh. Ia mendekat tanpa bergerak. Dan ketenangan yang dulu Sandrine miliki mulai retak. Tidak pecah. Belum. Tapi retak itu menjalar, seperti garis halus pertama di cermin yang lama-lama bisa membuat permukaannya runtuh.
Karena kini Axel tahu kebenaran yang seharusnya tidak pernah ia tahu: bahwa dulu, dunia yang ia hancurkan sendiri sebenarnya memiliki seseorang yang menunggu untuk menyelamatkannya.
Bagi Axel, yang kehilangan terlalu banyak, terlalu muda, terlalu sering, itu bukan sekadar masa lalu. Itu menjadi titik kembali. Menjadi pusat baru. Menjadi obsesi yang perlahan tumbuh dalam diamnya.
Sandrine mulai menyadari satu hal yang membuat napasnya tidak pernah benar-benar tenang sejak saat itu.
Axel yang hancur adalah bencana. Tapi Axel yang tenang… selalu jauh lebih berbahaya.
---
Perubahan Axel tidak berhenti pada ketenangannya yang baru. Ada lapisan lain yang mulai muncul perlahan, hampir tak terlihat oleh siapa pun kecuali Sandrine. Gelombang yang tidak pernah diumumkan, tetapi terasa pada kulit, seperti hawa dingin yang datang sebelum badai.
Awalnya hal-hal kecil. Terlalu kecil untuk disebut gangguan, terlalu samar untuk disebut kebetulan.
Setiap kali Sandrine tiba di kantor, pintu lift sering terbuka tepat saat ia melangkah, seakan seseorang sudah menunggu di lantai atas, menekan tombol turun pada waktu yang sama dengannya.
Setiap kali ia berjalan melewati lorong tenang yang menghubungkan ruang kreatif ke ruang divisi proyek, ia merasakan perubahan tekanan udara. Tidak selalu, tetapi cukup sering untuk membuatnya menoleh ke belakang.
Tidak ada siapa-siapa. Tapi jejak kehadiran itu terasa.
Axel tidak pernah mendekat. Tidak pernah berbicara. Tidak pernah menyentuh. Namun kehadirannya merambat di sekitar Sandrine, seperti bayangan yang selalu mengambil bentuk berbeda, tidak cukup jelas untuk ditangkap, tetapi cukup kuat untuk membuat jantungnya berdebar tanpa alasan.
Ada hari-hari ketika ia tersadar bahwa Axel selalu muncul tidak jauh darinya, seperti kebetulan yang terlalu sering terjadi. Di ruangan proyek, Axel duduk lebih condong ke depan setiap kali Sandrine mempresentasikan sesuatu.
Axel tidak tertarik pada presentasinya, melainkan pada cara suara Sandrine memenuhi ruangan. Cara jemarinya membalik halaman. Cara kepalanya sedikit miring ketika berpikir.
Setiap gerak perempuan itu seperti catatan yang Axel hafalkan diam-diam.
Kadang, momen-momen kecil itu menjadi lebih terang, lebih telanjang.
Seperti satu sore ketika Sandrine menuruni tangga darurat, sengaja memilih jalur yang jarang dilewati. Ketika ia membuka pintu di lantai bawah, Axel berdiri di sana. Tenang. Seolah-olah kebetulan itu ditulis sangat rapi di langit. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memberi jalan dan membiarkannya lewat. Tetapi ketika Sandrine melangkah melewatinya, ia merasakan sesuatu yang merayap di belakang tengkuknya, tatapan yang tidak menyentuh kulit, tetapi menyentuh pusat syaraf terdalam.
Axel tidak mengikuti. Tidak menghalangi. Tidak menahan. Namun kehadirannya di tempat-tempat tak terduga itu mulai mengiris ketenangan Sandrine sedikit demi sedikit.
Jika Axel muncul di suatu lantai, ia selalu muncul tidak jauh dari Sandrine, kebetulan yang terulang terlalu konsisten untuk disebut tanpa makna.
Meski begitu, yang membuat napas Sandrine tercekat bukanlah kedekatan itu, tetapi ketidakterdugaannya.
Axel bisa mengabaikannya berhari-hari, seolah Sandrine bukan siapa-siapa. Lalu suatu sore, ketika semua orang fokus pada grafik yang diproyeksikan di dinding rapat, Sandrine merasakan tatapan itu, diam, mengukur, penuh kesabaran yang keliru arah. Tatapan yang tidak menginginkan jawaban dari siapa pun kecuali dirinya.
Seolah-olah Axel sedang menunggu Sandrine menoleh. Seolah ia ingin memastikan satu hal: bahwa jarak di antara mereka bukan sesuatu yang permanen.
Dan ketika rapat selesai, Axel kembali menjadi sosok yang tenang dan profesional, menyapa siapa pun kecuali dirinya. Seakan seluruh tanda itu hanya ilusi.
Tapi Sandrine tahu yang ia rasakan bukan ilusi.
Karena setiap kali ia pulang, meski Axel tidak pernah ada di belakangnya, meski jalanan kosong, meski gedung-gedung diam, ia selalu merasa seolah ada satu garis halus yang menghubungkan langkahnya dengan langkah seseorang yang berjalan jauh di belakang, tak terlihat tetapi pasti.
Tapi di balik ketenangan baru yang membuat semua orang kagum, Sandrine mulai menyadari bahwa ketertiban itu bukan demi perusahaan. Bukan demi ayahnya. Bukan demi masa depan yang seharusnya ia kejar sebagai pewaris.
Ketenangan itu dibangun di sekitar satu pusat. Di sekitar dirinya.
Dan perlahan, obsesi Axel mulai memantulkan sisinya yang paling gelap melalui kehadiran yang tidak pernah pergi.
Sandrine belum jatuh dalam bahaya. Belum. Tapi ia tahu, dari cara udara sekitar Axel berubah setiap kali berada di dekatnya, bahwa bahaya itu sedang membentuk bentuknya.
Seseorang yang merasa akhirnya menemukan kembali apa yang dulu hilang darinya.
Wow, that was deep, I love this chapter! Aku bukan mau sok menasehati mbak karena aku bukan penulis yang baik, cuman menurut saya untuk membuat diksi yang baik bukan berarti harus memakai kata kata yang puitis. Seperti di bab ini kata-katanya cenderung sederhana, lugas dan tegas tapi inti dari kalimatnya dalam dan jelas. Aku sebagai pembaca sedikit banyak paham dengan kegelisahan Harrish, rasa sedih Saina, rasa kesal Fero yang konservatif dihadapkan dengan 'ketidak pedulian' Pevita dll. Keep it up mbak! Kalau memang belum merasa sreg dengan tulisannya mungkin mbak bisa ambil lebih banyak waktu sampai ngerasa tulisannya sudah pas. Have a good day! :)
thanks. that's what I need from my readers....πππ