Ch. 24 - Man With Scetch

๐Ÿ˜Ž Webnovel Anti Drama Platform ๐Ÿ˜Ž Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐Ÿฅณ

Ch. 24 - Man With Scetch

Sore itu, Sandrine duduk di sebuah coffee shop, tak jauh dari kantornya; Kavaia. Setelah berminggu-minggu dipenuhi rapat dan deadline, ia akhirnya membiarkan dirinya bernapas sedikit lebih panjang.

Di seberangnya duduk seorang rekan kerja perempuan dari divisi lain, Rania, yang cerewet tapi menyenangkan. Obrolan mereka ringan, tentang film terbaru, tentang lelucon di kantor, dan untuk sesaat Sandrine merasa seperti orang biasa, bukan sekadar bagian dari permainan besar di balik pintu direksi.

Namun matanya beberapa kali teralihkan pada sosok di sudut ruangan. Lelaki itu duduk sendiri di meja kayu dekat jendela, wajahnya tenang, ditemani buku sketsa dan secangkir kopi hitam yang sudah setengah dingin. Kacamata bingkai hitam bertengger di wajahnya, garis rahangnya tegas, dan ada sesuatu dari tatapannya yang penuh konsentrasi. Ia tampak berbeda dari keramaian pekerja kantoran lain yang sibuk dengan laptop.

Sandrine memperhatikannya tanpa sadar. Tangan lelaki itu bergerak stabil, menorehkan garis demi garis pada kertas. Dari jarak itu ia bisa melihat bentuk bangunan yang sedang dilukisnya, struktur modern dengan lengkungan halus, barangkali sebuah rancangan gedung atau rumah.

Rania menyikutnya pelan. “Jangan memandangnya terlalu lama,” goda Rania. “Kamu bisa jatuh cinta.”

Sandrine hanya tertawa singkat. Mengabaikan sejenak pria itu.

“Kalau kamu mau tahu, dia memang sering duduk di sini.”

Sandrine menoleh cepat. “Arsitek?”

“Kamu pernah dengar Forma Artelier? Kantornya sering mengambil proyek Cascade.”

Dia memang sering mendengar nama itu. Nama itu ada di berkas Maestro District.

“Sabian Wiraga.” Rania menurunkan suaranya sedikit, seakan menyebut nama seorang tokoh.

Seolah mendengar namanya disebut, pria itu mendongak. Tatapan matanya sekilas bertemu dengan Sandrine—tenang, tidak mengintimidasi, hanya seperti seseorang yang baru saja menyadari ada orang lain di ruangan yang sama. Sebuah senyum samar terbit di wajahnya, singkat, sederhana, lalu ia kembali menunduk pada sketsanya.

“Katanya dia jenius, tapi agak nyentrik. Lebih sering bekerja di coffee shop daripada di kantornya.”

Sandrine sempat terdiam sejenak, namun tidak membalas lebih dari sekadar anggukan kecil. Detik berikutnya, ia kembali menoleh ke Rania, mendengarkan ocehan rekannya tentang serial baru yang sedang populer. Obrolan mereka mengalir lagi, diselingi tawa ringan, seakan perhatiannya barusan tak pernah teralih.

Di sudut ruangan, pria itu kembali larut dalam dunianya. Pensilnya bergerak mantap di atas kertas, menyambung garis demi garis, seperti membangun sesuatu yang hanya ada di kepalanya. Ia tidak lagi menoleh, seakan pertemuan singkat tadi hanyalah gangguan kecil di tengah ritme yang sudah terbentuk.

Kedua dunia itu kembali terpisah.

Sandrine dengan obrolan hangat bersama Rania, dan pria bernama Sabian Wiraga dengan dunianya sendiri yang sunyi, penuh coretan arsitektur.

Hingga sore itu, ketika Sandrine datang sendirian. Ia duduk di meja dekat dinding kaca, tablet terbuka di hadapannya. Jarinya sibuk menyesuaikan jadwal Trias untuk minggu depan—rapat besar, undangan makan malam, pertemuan investor. Matanya begitu fokus hingga ia hampir tak sadar ada seseorang berdiri agak jauh menatap ke arahnya.

“Selamat sore,” suara itu berat, serak namun ramah.

Sandrine terangkat sedikit dari gawainya, menoleh cepat kemudian sedikit terperangah. Di depannya berdiri seorang pria dewasa, sosok tenang dan matang, tubuhnya tinggi menjulang, tegap tanpa terlihat kaku. Kacamata bingkai tebal hitam menempel di wajahnya, menegaskan garis rahang yang tegas dan mata yang tajam tapi tidak mengintimidasi. Ada kedewasaan dalam setiap geraknya, gestur sederhana, tapi penuh pertimbangan, seakan setiap langkahnya diperhitungkan.

Ada jeda singkat sebelum bibirnya akhirnya membalas dengan senyum kecil.

“Sore.”

“Boleh aku duduk di sini? Di sana terkena cahaya matahari.” Nada bicaranya ringan, tidak dibuat-buat.

Pria itu menunjuk ke kursi tempat di mana dia tadi berada, bukan di sudut yang biasa karena sudut itu sudah diisi orang lain, di mana cahaya matahari memantul dari jendela.

Sandrine mengangguk, menutup sejenak tabletnya.

“Silakan.”

Tubuh tinggi Sabian, postur tegapnya, dan ketenangan alami yang ia pancarkan membuat kehadirannya terasa mengisi ruangan, tapi tanpa pernah memaksa perhatian, sebuah wibawa diam yang membuat Sandrine tak bisa tidak memperhatikannya, meski ia mencoba kembali fokus pada tablet dan pekerjaannya.

Sandrine menatap Sabian sebentar saat ia menarik kursi, tubuh tinggi pria itu perlahan menyesuaikan diri dengan meja kecil di dekat jendela. Ia menaruh kopinya dengan ringan, lalu tersenyum sambil menyapanya lagi.

“Aku Sabian,” katanya, suara beratnya tetap hangat, tapi kali ini ada nada main-main yang samar. Ia mengulurkan tangan dan Sandrine meraihnya begitu saja.

Sandrine tersenyum kecil, sedikit canggung, tapi merasa anehnya nyaman. “Sandrine,” jawabnya singkat, menutup tablet sepenuhnya.

“Biasanya aku diam di sudut, tapi sepertinya hari ini aku dipaksa keluar dari zona nyaman karena cahaya matahari,” kata pria itu; dia tampaknya bukan tipe pendiam seperti yang dibayangkan Sandrine ketika mendengar kata arsitek; pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan ketelitian

“Biasanya aku yang sibuk dengan jadwal orang lain, jadi... bisa dibilang kita sama-sama diusir cahaya matahari, ya?” balas Sandrine.

Sabian tertawa pelan, sebuah tawa hangat yang terdengar alami. “Ya, bisa begitu.” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tapi tanpa mengintimidasi. “Kamu sering ke sini?”

Sandrine mengangkat bahu ringan. “Tergantung. Kadang sendirian, kadang bersama teman. Lebih sering sendiri. Bosku kadang menuntut segalanya.”

Sabian mengangguk, senyum samar masih di wajahnya. “Kamu bekerja di Cascade Group?”

Sandrine mengangguk ringan, sadar bahwa Sabian melirik ke ID Card yang tersemat di kemejanya. "Seperti yang kamu lihat...," ia membalas sekenanya.

"Aku bisa membayangkannya jika bosmu adalah Trias Tjaraka," komentar Sabian.

"Kamu kenal bosku?" Tanya Sandrine, meski ia sudah tahu jawabannya.

Perusahaan mereka adalah mitra.

"Tidak secara pribadi. Tapi aku tahu semua orang menganggapnya Tuhan di Cascade," Sabian berkelakar.

Sandrine tertawa satu kali. "Jadi maksudmu aku adalah sekretaris Tuhan, begitu?"

Sabian menyeringai, "Sepertinya begitu."

Sandrine tertawa pelan, sebuah tawa yang terasa ringan setelah minggu-minggu penuh tekanan.

**

Tidak selalu setiap hari, tapi hampir pasti dalam seminggu, Sandrine menyempatkan diri mampir ke Kavaia setelah jam kantor, apalagi jika malamnya harus lembur. Biasanya, ia mendapati Sabian sudah ada di sana, duduk di sudut yang sama, buku sketsa terbuka, secangkir kopi di samping.

Saat Sandrine masuk, ia hanya tersenyum ringan, memilih kursi di dekatnya, dan percakapan mereka mengalir begitu saja, tanpa kesan dipaksakan, tanpa intensitas yang membuat salah satu merasa canggung.

“Jadi, masih sering tersesat di jalan Jakarta?” Sabian memulai, menatap Sandrine dengan nada main-main sambil menggambar sedikit garis pada sketsanya.

Sandrine menoleh, tersenyum, dan menutup tablet. “Kalau tersesat tidak lagi, tapi culture shock itu nyata. Orang-orang di kantor, cara mereka bicara, sampai kebiasaan rapat… berbeda sekali dengan di Jerman. Aku hampir tiap hari merasa harus belajar bahasa baru.”

Sabian mengangguk, menandai garis baru di sketsanya. “Apa itu membuatmu kesulitan?”

“Hampir,” Sandrine menimpali sambil tertawa ringan. “Di sana, kalau rapat, semua langsung ke inti. Di sini… kamu harus membaca ekspresi orang, mengerti siapa yang sedang berpolitik, siapa yang sekedar formalitas. Kadang aku sempat berpikiran apakah aku paham permainan ini, atau hanya ikut-ikutan.”

Sabian mencondongkan tubuh sedikit, senyum samar tetap terjaga. “Jadi ini alasan kenapa kamu selalu mampir ke sini? Melepas stres dari ‘politik’ kantor?”

Sandrine tersenyum lagi, menyesap kopi hangatnya. “Di Cascade semua orang kaku.  Tapi, aku lebih suka mengobrol santai. Tanpa agenda, tanpa harus takut salah bicara.”

Sabian menatap sketsanya sebentar, lalu kembali menatap Sandrine. “Salah bicara seperti apa?"

Sandrine tertawa kecil. “Lupakan saja. Itu tidak terlalu penting."

Sabian mengangkat alis, menatapnya dengan ekspresi hampir bercanda. “Kenapa? Selain ending film yang menggantung, aku juga tidak suka orang yang mengatakan 'lupakan saja' di saat sedang seru-serunya."

Sandrine diam sejenak. Ia merasa sedikit canggung, saat Sabian menutup buku sketsanya dan menatapnya.

"Salah bicara di sini kadang rasanya seperti kebiasaan buruk. Aku sering berkata terus terang. Tapi di Indonesia, sepertinya itu bukan hal yang sopan."

"Mungkin tergantung dengan siapa kamu bicara," jelas Sabian, menatapnya lebih fokus. "Tapi, tenang saja, aku tidak mudah tersinggung. Aku lebih suka yang bicara jujur."

“Tapi, kadang-kadang jujur juga adalah sikap yang tidak sopan,” Sandrine tertawa di ujung kalimatnya.

Sabian tersenyum lebar, kali ini penuh selera humor. “Tidak sopan dalam konteks apa?" Pertanyaan Sabian terkesan menjadi serius saat ia masih menatap dan Sandrine sedikit tertegun saat ia melepas kaca mata untuk mengelapnya sebentar.

Sandrine memperhatikan detik-detik dia memakainya lagi. Dan ia merasa aneh. Jantungnya berdebar dan ia tahu perasaan macam apa itu; tanpa pernah menyangkalnya.

Sandrine ingin menjawab Sabian dengan jujur.

"Kadang aku bisa bicara kotor."

Tapi kata-kata itu mengendap di mulutnya. Dan ia hanya menatap pria itu.

**

Sandrine tenggelam dalam jadwal yang padat, rapat yang sering mendadak, notulen yang harus sempurna, laporan yang harus selesai tepat waktu, serta makan malam formal dengan investor, pengusaha, dan pejabat. Tekanan itu terus menghantui, menuntutnya tetap fokus, tepat, dan selalu waspada. Setiap tugas yang diselesaikannya bukan sekadar pekerjaan, tapi bagian dari pengujian terus-menerus dari Trias Tjaraka.

Namun, sore hari di Kavaia selalu memberi napas baru. Begitu ia menutup tablet, meletakkan dokumen yang menumpuk, dan melihat Sabian duduk di sudut dengan buku sketsanya, seakan seluruh dunia kerja yang menekan perlahan memudar.

Sandrine mulai ikut meneliti setiap goresan, menyimak garis-garis yang membentuk bentuk bangunan, lengkungan halus, dan detail yang hanya bisa terlihat oleh mata yang teliti.

“Ini bagian fasad gedungnya, ya?” tanya Sandrine, menunjuk salah satu sketsa. Suaranya ringan, hampir seperti ia berbicara pada dirinya sendiri.

Sabian mengangguk, matanya tetap pada garis yang digoreskannya. “Ya. Perhatikan proporsinya—kalau ini sedikit bergeser, kesan keseluruhan bisa berubah. Sama seperti kehidupan. Perubahan kecil bisa membuat efek besar.”

Sandrine tersenyum kecil, menyadari analogi itu. Ia mencondongkan tubuh, menelaah setiap goresan lebih teliti. “Aku tidak pernah menyangka memperhatikan garis bisa sebegini menenangkan.”

Sabian menoleh, senyum tipis. “Kadang hal sederhana yang terlihat kecil justru paling efektif untuk menenangkan pikiran.”

Waktu seperti melambat.  Meski hanya beberapa jam, momen itu selalu membuatnya segar kembali. Ia kembali ke dunia Cascade keesokan harinya dengan pikiran lebih tenang, langkah lebih mantap, dan energi yang seakan diisi ulang—seperti tahu bahwa di tengah tekanan tanpa henti, masih ada ruang kecil yang bisa menjadi miliknya sendiri.

**

Posted by
Home Stories Wattpad Instagram Facebook TikTok Threads
Tautan disalin

Komentar

6 comments