[Hal. 61] [Chapter 17] I LOVE YOU BUT...

๐Ÿ˜Ž Webnovel Anti Drama Platform ๐Ÿ˜Ž Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐Ÿฅณ

“Kamu merasa baikan sekarang?” tanya Wanda.

Perkumpulan telah terpisah. Nial dan Simon pindah ke ruang rahasia –kata Wanda mereka punya semacam obrolan bapak-bapak. Sedangkan aku dan Wanda membereskan dapur.

Aku mengangguk sambil memasukan makanan sisa ke tong sampah. Wanda duduk di meja makan dan menikmati cemilan.

“Kamu tahu, Bell, waktu Tante Maya minta bantuanku soal kamu, aku agak bingung,” kata dia tiba-tiba. “Yah... kamu tahu sendiri, Braska ngejauhin aku dari orang-orang dan aku khawatir aku nggak bisa. Tapi, aku nggak bisa menolak Tante Maya. Dia... sama sekali nggak kayak ibu tiri buat kami bertiga....”

Aku terdiam. Ibuku bisa menjadi seorang ibu bagi anak-anak lain. Sementara aku? Aku berada di rumah sakit dan dia nggak pernah mengunjungiku. Tapi, hari itu aku telah memaafkannya, hari ketika Ruby ‘membuangku’ demi Alex. Mama adalah satu-satunya orang yang kuingat.

“Waktu dia ngasih tahu aku kalau dia akan menemui kamu, dia senang banget. Selama bertahun-tahun dia terbebani karena nggak bisa membahagiakan anaknya sendiri. Sayangnya, dia nggak pernah cerita apa pun. Bahkan Papa-ku juga nggak tahu kenapa dia bisa kehilangan kamu. Kami kira itu hanya karena masa lalu yang buruk dan kami ngerti kalau hal-hal kayak gitu kadang nggak bisa diceritain ke orang lain,” sambung dia. “Tante Maya penuh rahasia. Kadang terlihat murung. Walaupun kemudian dia bisa tersenyum karena nggak ingin orang lain kepikiran. Tapi, yang pasti dia selalu memikirkan kamu.”

Aku mengangguk mengerti. “Aku tahu,” jawabku. Aku tahu itu karena begitu aku menelponnya –dan nomor telpon itu aku dapatkan dari Bu Eva, dia langsung ingin bertemu.

Mama datang di hari yang sama aku menelponnya dari Bogor ke Jakarta. Ia memelukku sangat erat dan hal pertama yang dia katakan adalah “maaf”. Aku menangis –mengingat betapa Ruby telah kejam kepadanya, juga kepadaku. Lalu berpikir untuk membawaku bersamanya yang saat itu kutolak –aku masih enggan, karena kini Mama-ku telah memiliki keluarganya sendiri. Sedangkan aku... hanya orang luar.

“Sejak dia ketemu kamu, dia jadi banyak cerita soal kamu,” kenang Wanda. “Tante Maya yang biasanya murung sudah lebih ceria sejak itu. Aku, Simon, Devon dan Papa juga ikut senang karena akhirnya melihat Tante Maya bahagia. Tapi, nggak tahu ya, kemudian tiba-tiba dia jadi parno lagi.”

Mama jadi cemas karena aku bilang padanya bahwa aku dan Ruby sedikit berselisih –kurasa. Dan aku nggak menjelaskan permasalahannya. Hanya mengakui bahwa Ruby memang egois dan aku nggak tahan. Aku ingat Mama berusaha membujukku untuk ikut dengannya, tapi aku nggak pernah mau. Aku masih berpikiran kalau aku nggak mau punya ayah tiri apalagi saudara tiri, mereka nggak akan memperlakukanku dengan baik.

“Dan yang paling bikin aku kaget, ternyata kamu punya kakak,” jelasnya. “Tante Maya sama sekali nggak mau menyebut namanya.”

Namanya Ruby. Ingin kukatakan, tapi aku malah diam saja.

“Dia selalu bilang ‘anak itu’. Anak itu pasti menyakiti kamu.”

“Ya, memang begitu, Kak...,” kataku pelan.

“Apa sih masalahnya, Bell?” tanya Wanda, penuh perhatian. “Apa yang dilakukannya sampai Mama kamu nggak mengakui dia dan masalah apa yang bikin kamu pergi dari rumahnya?”

Aku rasa aku paham mengapa Mama nggak ingin membicarakan Ruby untuk waktu yang sangat lama. Karena sekarang pun aku juga begitu. Aku nggak ingin membicarakan tentang Ruby. Aku juga nggak ingin menyebut namanya lagi –untuk saat ini, seakan itu bisa merusak kebahagiaan yang ada di sini. Ada banyak alasan mengapa dia harus dijauhi.

“Itu udah nggak penting lagi sekarang ‘kan, Kak?” balasku.

Wanda mengangguk pelan. “Ya, kamu sudah berada di tempat yang tepat...,” ia tersenyum.

“Apa... Mamaku tahu soal aku sama Nial?”

“Aku rasa nggak,” jawab Wanda pasti. “Bukan aku atau Simon yang harusnya bilang ke Tante Maya. Tapi, Nial sendiri.”

“Apa Mama-ku bakal marah?” tanyaku, sedikit murung.

“Kenapa kamu berpikiran jelek sih, Bell? Nial itu orang yang bertanggung jawab.”

“Iya, aku tahu. Tapi, Mama juga tahu ‘kan masa lalunya....”

Wanda diam. lalu berdiri dari kursinya. “Bell, ini misal ya. Misalkan, Tante Maya nggak setuju karena Nial pernah ya... kamu tahulah, Nial pasti akan tetap memperjuangkan kamu. Tante Maya menyayangi kamu, dia pasti ingin kamu bahagia setelah semua yang kamu lalui.”

Aku berharap semoga itu benar. Karena jika tidak, aku pun nggak tahu harus bagaimana lagi. Nial satu-satunya sumber kebahagiaanku dan aku nggak ingin kehilangannya.

“Bell,” tegur Wanda saat pikiranku mulai menerawang dengan gelisah. “Awalnya Tante Maya minta aku sama Devon untuk membawa kamu pergi dari sini, dari Jakarta.”

“Hah?”

Wanda mengangguk satu kali. “Aku sama Devon sempat bingung juga. Kita belum pernah ketemu,” jelasnya. “Tante Maya selalu bilang kalau kamu nggak hidup layak dan dia memohon sama Devon supaya bantuin kamu.”

“Mama-ku sampai begitu?”

Sedikit tawa terlihat di bibirnya. “Menurutnya kamu harus jadi seseorang yang baru dan dia yakin Devon bisa,” jelasnya lagi dan aku tersipu. “Devon setuju, walaupun dia nggak yakin karena dia nggak mengenal kamu.”

“Jadi, semuanya sudah direncanakan? Mama nyuruh aku ketemu kakak dan kakak sengaja minta aku menginap?”

Wanda tersenyum sambil mengangguk. “Semuanya udah disiapin Devon. Rencana perjalanan, tempat tinggal, dan nanti Tante Maya juga mau nemenin kamu. Tapi,... malam itu kejadiannya lain... gara-gara aku rencananya kacau,” jelasnya getir.

“Udahlah, Kak. Nggak begitu buruk kok sekarang,” ujarku, menggenggam bahunya untuk menunjukan bahwa aku sama sekali nggak menyesali apa yang terjadi. Walaupun di awal-awal aku begitu menderita, tapi sepertinya semua itu sudah terbayar. “Aku senang begitu tahu kalau ternyata... selama ini aku nggak sendirian. Ada orang-orang yang mikirin aku dan peduli sama aku....”

Pikiranku tentang si Devon ini sedikit berubah.

“Kami semua sayang Tante Maya, Bell,” ulang Wanda. “Selama ini dia ngurusin kami, ngelindungin kami kalau kami nakal supaya nggak dimarahin Papa, dan dia ngajarin kami untuk saling menjaga....”

Aku terhenyak. Ya, sekarang Mama juga meminta anak-anak yang dia jaga, untuk menjagaku. Bagaimana pun Mama pasti tahu soal halusinasi yang aku alami –aku bilang padanya, aku punya tiga orang kakak yang menyayangiku dan aku meyakinkannya bahwa mereka nyata.

Dokter bilang halusinasi itu adalah keinginan yang timbul karena aku begitu menyukai sesuatu yang pernah kulihat dan itu amat menyenangkan untuk diingat sehingga pikiranku berusaha mewujudkan versiku sendiri –tiga bersaudara, anak majikan ibuku yang punya tawa renyah dan girang. Aku ingin bisa tertawa seperti itu tapi aku tak bisa. Karena aku sendirian, dan aku... kesepian.

“Kamu tahu kenapa kami masih memanggilnya dengan sebutan Tante, dan bukannya Mama? Padahal dia memang benar-benar seorang ibu buat kami yang dari kecil udah ditinggal sama Mama?” tanya Wanda kemudian. “Karena baginya, yang boleh memanggilnya Mama itu cuma kamu. Dia nggak ingin merasa semakin bersalah karena merawat kami tapi mengabaikan anaknya sendiri.”

Kalau Mama ada di sini aku ingin memeluknya. Hatiku dipenuhi oleh perasaan hangat yang membuatku terharu. Aku telah menjadi bagian dari sesuatu setelah bertahun-tahun aku nggak memiliki apa-apa.

“Sekarang Tante Maya tahunya kalau kamu baik-baik aja. Aku berusaha supaya dia nggak parno dan nelpon kamu melulu. Karena aku yakin kamu pasti bakalan panik kalau ditanyain terus sekarang udah di mana. Harusnya kamu di Bali sama Devon. Karena aku harus kabur dari Braska, otomatis kamu nggak akan bisa ngasih jawaban yang bikin dia tenang. Tapi, aku bilang, kalau kamu tinggal bareng sama aku, di sini,” jelasnya. “Dan kayaknya dia nggak keberatan.”

“Nial juga tahu soal rencana ini?”

“Apa sih yang dia nggak tahu soal kami, Bel. Malah dia jadi penyebab utama rencana gagal total.”

Karena dia jatuh cinta padaku?

“Dan si Devon brengsek, kayaknya senang Nial menahan kamu. Dia orang yang nggak mau repot. Padahal harusnya kamu berangkat ke Bali sama aku setelah kejadian itu. Tapi, Nial nggak setuju. Dia tanya ke aku, apa aku yakin ngebiarin kamu tinggal sama manusia kayak Devon. Aku nggak tahu itu perasaan khawatir yang gimana, tapi dia benar juga. Aku tanya Simon dan karena kita tahu gaya hidupnya si bontot, aku minta tolong Nial. Kamu harus telepon Tante Maya supaya dia bisa lebih tenang.”

Aku mengangguk. Ya, aku akan memberitahu Mama kalau aku baik-baik saja. Bahkan nggak pernah lebih baik dari ini.

*** 

Posted by
Home Stories Wattpad Instagram Facebook TikTok Threads
Tautan disalin

Komentar

1 comments: