๐ Webnovel Anti Drama Platform ๐ Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐ฅณ
Ch. 62 - Ashes of You
Ballroom dipenuhi suara tawa, klir gelas, dan musik lembut dari live band. Lampu-lampu gantung yang indah, tapi selebihnya terasa biasa saja, seperti pesta pada umumnya. Orang-orang berdiri berkelompok, berbicara santai, beberapa memotret Sandrine dan Sabian yang baru saja selesai berfoto bersama keluarga.
Sandrine tersenyum pada semua orang. Senyum yang hangat dan lepas, bahkan ia sendiri tak yakin kapan terakhir kali merasa setenang ini. Nixie tersenyum dari jauh, Kellan di sisinya, wajahnya cerah, dan kedua adik lelaki Sabian bercanda sambil menunjuk ke arah mereka.
Sabian meraih pinggang Sandrine, menariknya mendekat. “Kita berhasil,” katanya pelan, senyum bahagia terpampang jelas.
Sandrine mengangguk. “Kita benar-benar berhasil.”
Semuanya tampak normal, aman, dan penuh kebahagiaan sederhana.
Lalu sesuatu di ujung ruangan tampak bergerak.
Sandrine tidak langsung menyadarinya. Tapi ketika ia menoleh lagi, ada seseorang berdiri di ambang pintu ballroom, sendirian, diam, tidak menyatu dengan kerumunan.
Hoodie hitam. Rambut hitam. Jeans biru robek di lutut. Rambut berantakan menutupi dahi. Wajah tampan yang kelihatan menahan amarah.
Axel. Yang terakhir kali ia lihat diseret ke dalam mobil di Frankfurt.
Ia berdiri tegak, namun matanya hancur. Hancur dan marah.
Sandrine membeku. Suaranya hilang dari tenggorokan.
Axel melangkah masuk tanpa ragu. Semua tamu mengenakan busana formal, gaun pastel, jas, sepatu mengilap. Axel satu-satunya yang tampak seperti seseorang yang seharusnya tidak ada di sana. Ia menatap Sandrine dari seberang ruangan. Pandangannya tajam.
Sabian menyadari perubahan napas Sandrine, lalu mengalihkan pandangan ke arah yang sama. “Siapa...”
Sandrine mencengkeram lengannya. “Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak mungkin…”
Axel berjalan maju. Tidak cepat, tapi pasti. Seperti seseorang yang tahu persis ke mana ia harus pergi.
Setiap langkahnya membuat ruangan terasa menyempit.
Tamu-tamu tetap tertawa. Musik terus mengalun. Tidak ada yang melihatnya kecuali Sandrine.
Axel berhenti hanya beberapa meter dari mereka.
Wajahnya patah. Mata merah, seperti habis menangis atau begadang terlalu lama.
“Kamu benar-benar melakukannya,” ucapnya tanpa suara, hanya bibirnya yang bergerak, tapi Sandrine tahu apa yang ia ucapkan.
Tangan Axel terangkat.
Korek api kecil tergenggam di sana. Ia menyalakannya dengan klik yang terdengar terlalu jelas, seolah-olah semua suara di ballroom mendadak lenyap.
Api kecil itu memantul di mata pemuda itu.
“Kenapa tidak menungguku?” suaranya datar, namun berat. Nada anak remaja yang patah hati… dan marah.
Sandrine menggeleng, napasnya terputus. “Axel… jangan…”
Axel melemparkan korek itu ke lantai.
Begitu api menyentuh karpet, api langsung menyambar cepat.
Tamu-tamu mulai berteriak. Api merambat ke taplak meja, tirai, dan gaun-gaun tamu. Sabian mencoba menarik Sandrine menjauh, tapi kakinya seperti tak bisa bergerak.
Axel menghilang dalam cahaya api itu.
Sandrine berbalik, semua orang terbakar. Cahaya merah memenuhi matanya. Nafasnya tersengal, tenggorokannya perih.
Api melompat ke arahnya.
Sandrine tersentak bangun.
Ia duduk tegak di tempat tidur, napas memburu, tubuhnya berkeringat dingin. Sekelilingnya gelap, hanya lampu tidur kecil yang menyala. Tidak ada api. Tidak ada Axel. Tidak ada ballroom.
Hanya bunyi napasnya yang kacau.
Dan rasa takut yang masih tinggal di dadanya. Ia menoleh ke sisi ranjang, Sabian masih terlelap, wajahnya tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya dalam dan teratur.
Untuk sesaat, Sandrine hanya memandanginya. Ada rasa asing namun menenangkan di dadanya: perasaan aman yang jarang sekali ia rasakan dalam hidup.
Untung semua itu hanya mimpi.
Tangan Sabian tiba-tiba bergerak, mencari-cari dalam tidur, lalu menemukan pinggang Sandrine. Ia merengkuhnya lebih dekat, masih setengah sadar, dan bergumam dengan suara parau, “Jangan kemana-mana. Masih jadi istriku, kan?”
Sandrine tersenyum kecil, hatinya bergetar. “Baru satu bulan, sudah takut ditinggal?”
Sabian membuka matanya perlahan, menyipit karena cahaya pagi. Senyum mengembang di wajahnya yang berantakan oleh rambut acak-acakan.
“Ya, aku realistis. Kamu terlihat seperti wanita yang bisa kabur kapan saja kalau tidak suka sarapan yang aku buat.”
Sandrine terkekeh, menutup wajah dengan bantal. “Jangan bilang kamu benar-benar mau memasak.”
**
Beberapa menit kemudian Sabian benar-benar turun ke dapur.
Sandrine menyusul, masih dengan rambut kusut dan kemeja putih yang kebesaran—kemeja Sabian semalam. Ia menemukannya sibuk di meja dapur, mencoba membuat omelet tapi lebih banyak mengacau.
Wajahnya serius, tapi sesekali mengangkat alis dengan gaya pura-pura percaya diri.
“Chef spesial hari ini: omelet setengah gosong dengan cinta penuh,” katanya bangga sambil menunjukkan wajan.
Sandrine tertawa sampai menitikkan air mata, lalu mengambil alih spatula dari tangannya. “Kamu akan membunuhku dengan sarapan semacam ini.”
Sabian mendekat, berdiri di belakangnya, menaruh dagunya di pundak Sandrine. “Ya, tapi aku akan ikut mati juga. Jadi romantis, kan?”
Sandrine berhenti sejenak, spatula di tangannya tergantung. Kata-kata sederhana itu menusuknya dengan lembut. Ia sadar: inilah yang membuat Sabian berbeda. Ia tidak mencoba menyelamatkannya dengan heroik, tidak mencoba mengubah masa lalunya, tidak menuntut apa pun. Sabian hanya ingin menemani, bahkan dalam hal-hal sepele seperti sarapan gosong.
“Sabian,” katanya pelan, suaranya bergetar.
“Hmm?” Ia menoleh, menatapnya dengan mata hangat yang penuh perhatian.
Sandrine menelan ludah. “Terima kasih sudah membuatku percaya kalau rumah itu bukan tempat… tapi orang.”
Sabian menatapnya lama, lalu tersenyum. “Dan aku berjanji… aku tidak akan pernah membiarkanmu mencari rumah lagi. Karena mulai sekarang, rumahmu ada di sini.” Ia menunjuk dadanya sendiri.
Ia menunduk, mencium Sabian, bukan dengan api seperti malam sebelumnya, tapi dengan ketulusan yang dalam—seperti tanda tangan di sebuah janji yang akan ia jaga.
**
Sandrine kembali ke rutinitasnya, dengan agenda yang padat, rapat-rapat tanpa henti, hingga malam-malam yang ia habiskan di depan laptop.
Tapi ada sesuatu yang berbeda sekarang: Sabian selalu hadir di sela-sela kesibukannya.
Pagi hari, sebelum Sandrine berangkat, Sabian terbiasa menyeduhkan kopi. Ia bukan barista hebat, kadang terlalu pahit, kadang terlalu manis, tapi selalu ia letakkan di meja makan dengan catatan kecil di sampingnya.
Satu pagi, Sandrine menemukan secarik kertas bertuliskan:
“Kalau kamu sempat gila di kantor, ingatlah ada orang gila lain menunggu di rumah.”
Sandrine terkekeh sambil menyesap kopi yang terlalu manis itu. Entah bagaimana, bahkan rasa berantakan seperti itu membuatnya lebih semangat.
Di malam hari, sepulang kerja, Sabian punya kebiasaan duduk di ruang tamu sambil menunggu. Kadang ia membaca buku, kadang menonton film lama. Begitu Sandrine masuk dengan wajah lelah, ia hanya menepuk kursi di sebelahnya tanpa banyak kata.
“Duduk. Tidak ada rapat lagi malam ini. Ada aku.”
Sandrine biasanya pura-pura protes, “Aku masih harus buka laptop,” tapi akhirnya selalu menyerah. Ia duduk, menempelkan kepalanya di bahu Sabian, dan dalam lima menit, laptopnya sudah terlupakan.
Namun, bukan hanya itu yang membuat Sandrine merasa hidupnya seimbang. Ada api yang selalu terjaga di antara mereka, keintiman yang tak pernah padam. Hampir setiap hari, selalu ada waktu untuk bercinta, entah di ranjang menjelang fajar, di sofa setelah film usai, bahkan di dapur saat aroma kopi masih hangat. Bagi mereka, bercinta bukan lagi sekadar kebutuhan tubuh, melainkan bahasa lain untuk mengatakan mereka akan tetap memilih satu sama lain.
Ada pula kebiasaan kecil yang membuat Sandrine geli sekaligus terharu. Sabian suka menyiapkan bekal sederhana untuk makan siang Sandrine di kantor.
Tidak pernah wah, kadang hanya sandwich atau nasi kotak praktis, tapi selalu ada kejutan di dalamnya. Entah itu kertas kecil dengan doodle lucu, atau sekadar tulisan: “Jangan lupa makan, jangan membuatku jadi duda muda.”
Trias pernah melihat bekal itu di meja Sandrine saat rapat dan hanya mengangkat alis. Sandrine merah padam menutupinya, tapi jauh di dalam hati, ia merasa hangat. Walaupun rasanya aneh, dia tetap menghabiskannya karena Sabian benar-benar tidak bakat memasak dan Sandrine sudah bersyukur saat Sabian memasak di dapur, dia tidak meledakkan apa pun.
Di akhir pekan, saat Sandrine cenderung masih ingin sibuk dengan kerjaan, Sabian punya trik: menculiknya. Ia akan tiba-tiba mengajak keluar, tanpa rencana jelas. Seolah kadang dia bisa saja bersekongkol dengan Trias agar memberinya sedikit kelonggaran.
“Kamu perlu istirahat,” katanya tegas, meski Sandrine awalnya bersungut-sungut. Tapi pada akhirnya, ia selalu luluh saat angin sore menerpa wajahnya di perjalanan. Dan malam harinya, perjalanan itu sering berakhir dengan mereka saling melahap satu sama lain, seakan-akan tubuh mereka adalah rumah paling nyaman yang pernah ada.
**
Suatu malam, setelah seharian penuh rapat melelahkan, Sandrine pulang dengan wajah letih dan tubuh tegang. Sabian sudah menunggunya di ruang tamu, buku masih terbuka di pangkuannya. Begitu melihat istrinya masuk, ia menutup buku itu, bangkit, dan menarik Sandrine ke pelukannya tanpa banyak bicara.
“Aku bau kantor,” keluh Sandrine sambil menggeleng.
Sabian mencium ubun-ubunnya pelan.
“Aku tidak mencium kantor. Aku cuma mencium istriku.”
Ciuman itu yang awalnya singkat berubah menjadi panjang, dan sebelum Sandrine sempat protes, Sabian sudah menuntunnya ke sofa. Ada kehangatan yang familiar, ada pula ketegangan manis yang membuat Sandrine mendesah pelan.
Di sela itu, Sabian tiba-tiba berhenti, menatapnya dengan senyum nakal.
“Kamu tahu, Sandrine, kalau suatu hari sofa ini bisa bicara… kita pasti digugat karena pelecehan furnitur.”
Sandrine terbahak, tawanya pecah di antara ciuman. “Kamu menyebalkan.”
“Tapi kamu menyukainya,” balas Sabian cepat, sebelum menunduk lagi, menurunkan ciumannya dengan kesabaran. Ia tahu betul kapan harus membuat Sandrine tertawa, kapan harus membuatnya terdiam karena gelombang nikmat yang datang.
Sandrine membiarkan dirinya tenggelam, menikmati cara Sabian memperlakukannya, kadang lembut, kadang liar, kadang dengan kelakar yang membuatnya meledak tawa di tengah desah. Itu yang membuatnya selalu merasa seks mereka bukan rutinitas, tapi perayaan.
Sabian tahu, istrinya punya api yang besar. Ia tidak pernah membuat Sandrine merasa bersalah. Meski tubuhnya lelah setelah hari yang panjang, ia tetap berusaha memenuhi hasrat itu. Seks bersama Sabian bukan sekadar pelepasan, melainkan bukti kebebasan, bahwa dirinya boleh menjadi siapa adanya, tanpa topeng, tanpa kompromi yang menyakitkan.
Komentar
0 comments