Chapter 65 - He's Back

๐Ÿ˜Ž Webnovel Anti Drama Platform ๐Ÿ˜Ž Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐Ÿฅณ

Ch. 65 - He's Back

Sekilas saja. Sekejap. Sandrine bahkan tidak sadar napasnya berhenti ketika melihat sosok itu berdiri di ujung lobby lantai 27. Rambut berantakan, kemeja dengan kancing lepas di atasnya, wajah letih, Axel tampak jauh lebih kacau daripada terakhir kali ia lihat enam tahun lalu.

Ketika mata mereka akhirnya bertemu, Axel justru tersenyum.

Senyum itu, lesung pipi tipis yang dulu membuat Sandrine jatuh hati dengan cepat, muncul seperti refleks, meski ada keletihan jelas di baliknya.

Sandrine sempat terpaku. Satu bagian kecil dirinya masih mengingat anak laki-laki impulsif yang pernah membuatnya merasa dipilih, dilihat, dicintai. Lalu mempermalukannya sekaligus. Dan kini, seolah waktu terlipat begitu saja, ia kembali melihat versi itu berdiri di depannya. Dia memang lebih tinggi, lebih tegap dan dewasa dari sebelumnya. Dan secara menakjubkan juga lebih gagah.

Hanya saja, yang ia rasakan sekarang bukan lagi getaran yang sama.

Yang ada hanya perih… dan rasa bersalah.

Axel melangkah mendekat. Tergesa, seperti selalu. Seperti seseorang yang menemukan sesuatu yang ia pikir sudah hilang.

“Sandrine?” suaranya pecah, nyaris seperti anak yang menemukan rumah setelah tersesat terlalu lama.

Sandrine menoleh penuh hati-hati. Butuh dua detik baginya untuk menyusun kembali ingatan, pria muda yang berdiri di sana dengan mata yang sudah tidak sepolos dulu, tapi masih sama keras kepalanya.

“Axel… kamu? Sudah lama sekali.” ia mencoba berbasa-basi, satu-satunya hal yang terasa masuk akal. Sebelum Axel mempertanyakan banyak hal.

Ia tersenyum kecil. Bukan senyum manis masa lalu, bukan pula undangan. Hanya sopan; karena yang berdiri di hadapannya adalah putra kesayangan bosnya. Tapi Axel menangkapnya seakan itu adalah cahaya terakhir yang bisa ia genggam.

Axel mencoba bersikap tenang, tapi Sandrine bisa melihat jelas bagaimana dadanya naik turun, seolah ia sedang menahan sesuatu yang rapuh.

“Sejak kapan kamu… di sini?”

“Sudah lumayan lama,” jawab Sandrine dengan ringan, meski lidahnya terasa berat. “Bagaimana kabarmu?”

“Seperti yang kamu lihat.” Ia tersenyum bodoh, hangat dan menyakitkan sekaligus. Senyum itu lagi. Lesung pipinya lagi. Dan rasa bersalah itu datang lagi, menusuk lebih dalam.

Dia tak mau mengakui bahwa kali ini dia lagi-lagi diseret pulang seperti anak nakal. Sama seperti kejadian Frankfurt, hanya kali ini terasa lebih pedih, lebih menyakitkan. Ada hati yang hancur. Harga diri yang jatuh karena satu juta dolar. Axel terlihat malu di hadapannya. Karena pelariannya selalu berakhir dengan cara seperti itu.

“Jam berapa kamu selesai bekerja?” tanya Axel kemudian, seperti melihat kesempatan kedua di antara mereka.

“Jam kerjaku tidak menentu. Aku sekretaris ayahmu,” jelas Sandrine. Ia mencoba menjaga suaranya tetap netral, sedikit tegas. Ia perlu batas. Ia tahu itu.

Axel tertegun. Terlihat ingin bertanya lebih jauh, tapi memilih mengabaikan apa pun yang terasa janggal; kehadirannya di Cascade Tower dan posisi Sandrine yang begitu dekat dengan kekuasaan.

“Kita sudah lama tidak bertemu, bagaimana jika….”

“Axel, aku tidak bisa.” Sandrine hampir membisikkan kata itu, tapi ketegasannya tetap terasa.

Axel tersentak. Seolah ingatan tentang betapa mudahnya dulu membuat Sandrine mengikuti keinginannya kembali menghantamnya.

“Kenapa?”

Sandrine menutup mulut sejenak. Tidak ada cara baik untuk mengatakan ini. Tidak ada cara yang tidak akan melukainya; jika sebenarnya Axel masih memiliki perasaan itu.

Tapi Sandrine percaya. Axel sudah jatuh cinta dengan Hannah Sawyer dan mungkin kenyataan ini tak akan terlalu menyakitkan baginya.

“Aku sudah menikah.”

Tawa bodoh Axel langsung padam. Seperti tiupan angin kecil memadamkan lilin. Wajahnya mengosong, retak, perlahan-lahan dikuasai ketidakpercayaan.

Mata Axel turun ke tangannya. Lingkar perak di jari manis Sandrine berkilat kecil, cukup untuk menghancurkan.

“Sandrine…” suaranya parau, pecah, “Kamu… sudah menikah?”

Ia menunduk. Menata napas. Menyusun keberanian agar tidak goyah.

“Iya.”

Axel memaksa tersenyum. Sakitnya jelas, bahkan dari kejauhan. Sakit yang tidak seharusnya lagi berhubungan dengan dirinya… tapi tetap terasa seperti beban di dada.

“Oh. Bagus untukmu.”

Kata-kata yang dipaksakan itu seperti seseorang yang mencoba tersenyum sambil berdarah.

Sandrine mengerti. Betapa pun mereka berdua telah jatuh cinta pada yang lain, tetap saja rasa sakit itu menyiksa mereka. Seolah masih ada di antara mereka yang masih hidup dan bisa terluka oleh realita yang kasar.

Axel menatapnya untuk terakhir kalinya, tatapan yang tidak ia kenal lagi. Ada kehampaan di sana, seperti seseorang yang baru saja kehilangan sebagian besar dirinya dalam satu tarikan napas. Bukan hanya patah hati… lebih dari itu. Seolah dunia yang ia sandari tiba-tiba runtuh tanpa peringatan.

Kemudian ia mundur. Selangkah. Lalu selangkah lagi.

Sandrine tidak tahu kenapa rasanya seperti menyaksikan seseorang tenggelam perlahan, tanpa bisa ia tarik keluar.

Gerak Axel lesu, hampir menyeret kaki. Padahal dulu, Axel selalu berjalan cepat, impulsif, tidak pernah menahan energi. Kini ia hanya… kosong. Rusak secara diam-diam. Tubuhnya seperti menahan sesuatu yang terlalu berat untuk dibawa pulang.

Sandrine sempat mengira Axel akan mengacau seperti dulu, berteriak, menuntut penjelasan, marah membabi buta, atau memaksa sesuatu yang mustahil. Itu versi Axel yang ia kenal: laki-laki muda yang selalu meledak dahulu sebelum berpikir.

Tapi Axel tidak melakukannya. Tidak ada amarah. Tidak ada impulsif. Hanya diam yang merayap sekelilingnya, membuat suasana jauh lebih mengiris.

Axel melewati lobby dengan kepala tertunduk, membiarkan pintu kaca bergeser tertutup di belakangnya tanpa menoleh. Punggung tegapnya turun sedikit, seperti seseorang yang sudah tidak punya alasan untuk berdiri tegak.

Sejak mereka berakhir, inilah saat Sandrine melihat Axel benar-benar menyerah. Dan itu menyayatnya. Ia tidak bisa memanggil Axel. Tidak bisa berlari menyusul. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan lelaki itu menjauh sampai langkah lesunya hilang dari pandangannya.

**

Sandrine mencoba kembali bekerja seperti biasa, tapi pikirannya terus kembali ke momen Axel tersenyum rapuh, dadanya naik turun menahan sakit, cara ia berjalan pergi seolah semua cahaya padam di dalam dirinya.

Sandrine tahu itu bukan salahnya. Atau ia berusaha mempercayai itu.

Namun setiap malam setelahnya, wajah Axel yang kehilangan arah itu muncul kembali, mencungkil lubang kecil di dadanya.

Laporan-laporan mulai berdatangan dari Jay, mengalir ke telinga Trias seperti deretan berita buruk yang tak pernah selesai. Sandrine mendengarnya setiap kali Jay muncul di kantor dengan wajah lelah dan nada frustrasi yang makin parah.

“Gadis berbeda tiap dua malam,” lapor Jay suatu pagi. “Kadang berkelahi. Kadang hampir dikeluarkan sekuriti. Kadang hanya duduk di lobby sambil mabuk berat.”

Sandrine menahan napas. Itu bukan hal baru untuk Axel, tapi cara Jay melaporkannya membuat semua terdengar lebih buruk dari sebelum-sebelumnya.

Setelah dipulangkan dari Amerika, Axel langsung dipaksa bekerja di Infinite Hotel sebagai langkah awal menjadi pewaris keluarga Tjaraka. Posisi itu harusnya terhormat. Stabil. Menjanjikan masa depan. Tapi semua orang tahu Axel tidak pernah meminta itu dan tidak pernah siap.

Hasilnya berantakan.

Sejak hari pertama, Axel hampir tidak pernah benar-benar bekerja. Ia bolos sesering ia datang. Dan kalau pun ia muncul, keadaannya lebih mirip seseorang yang terseret paksa ke dunia yang tidak ia inginkan.

Kadang datang setengah teler. Kadang masih mabuk. Kadang pakaiannya tidak rapi. Baju lusuh, kerutan di mana-mana, bekas lipstik perempuan di kerah. Sering seperti itu.

Sandrine bisa membayangkan Axel berjalan dengan langkah malas di koridor hotel, bau alkohol masih melekat, rambut kusut seperti tidak pernah disentuh sisir. Laki-laki yang dulu begitu impulsif dan hidup kini tampak tidak peduli pada apa pun.

Dan masalah terburuk: Axel mengganggu pegawai wanita. Itu membuat Sandrine ingin menggenggam kedua tangannya sampai kesemutan. Bukan karena cemburu; tidak, ia sudah melewati tahap itu, tapi karena rasa bersalah seperti menyambar belakang lehernya.

Orang-orang menegurnya, tapi… dia Axel.

Gadis-gadis yang berbeda tiap malam. Mengantar Axel sampai kamar, keluar dengan pakaian kusut, satu lagi terlihat meninggalkan hotel sambil menahan marah.

Axel seperti hilang arah. Seperti orang yang sedang jatuh tapi tidak mau ditolong.

Sandrine tahu Axel punya masa lalu rumit. Ia tahu kekacauannya bukan lahir hanya dari dirinya.

Tetap saja.

Kalau aku tidak mengatakan aku sudah menikah… apakah dia akan kacau seperti ini?

Ia tidak punya jawabannya.

Yang ia punya hanyalah gambaran Axel berjalan lesu meninggalkannya di lobby hari itu, dan laporan-laporan yang terus berdatangan sejak saat itu, satu demi satu, seperti bukti bahwa lelaki itu sedang jatuh ke dasar.

Dan di sudut hatinya, Sandrine merasa tangannya ikut mendorongnya ke sana.

Sandrine seringkali berpura-pura tidak mendengar di hadapan bosnya yang melonggarkan dasi karena gusar setelah membanting ponselnya ke meja. Karena, entah kenapa, Sandrine merasa tahu penyebabnya.

Padahal logikanya berkata jelas: dirinya bukan alasan utama Axel menjadi seperti itu. Axel sudah kacau jauh sebelum hari ini. Hannah Sawyer, konflik dengan ayahnya, amarah yang tidak pernah diberi tempat.

Tapi rasa bersalah adalah hal keras kepala. Ia menyelinap masuk meski pintu sudah ditutup rapat. Sandrine menggenggam jemarinya kuat-kuat, jari yang sama yang mengenakan cincin pernikahan.

Ini bukan salahku…” bisiknya dalam hati.

Tapi bayangan Axel yang berjalan lesu keluar dari lobby itu terus mengikutinya.

Dan, seberapa pun ia menyangkalnya… di bagian terdalam hatinya, Sandrine tahu:

Ia merasa itu salahnya. Ia hanya tidak berani mengakuinya.

Axel hancur karena dirinya.

Posted by
Home Stories Wattpad Instagram Facebook TikTok Threads
Tautan disalin

Komentar

5 comments

        • avatar deeolit says:

          mungkin karena aku terlalu larut sama deritanya Sabina, jadinya aku kayak mati rasa sama Harish,��
          gak punya dendam pribadi kok ke sosok Harish ini, cuma meskipun dia memang menyesal dan cinta mati sama Sabina, tp dia gak pernah benar benar nunjukin perjuangannya, jd kurang berasa penderitaannya si Harish ditolak Sabina.
          But, please keep writing ya thor, aku suka cerita ini, dan aku gak sabar nunggu chapter selanjutnya, siapa tau aku bisa mulai respect sama Harish,��

          • avatar Midnight says:

            wadaw... jangan sampai punya dendam pribadi. kasihan haris sudah menderita gituu... hahahhahaha.... thanks for waiting