Chapter 68 - Back To You

๐Ÿ˜Ž Webnovel Anti Drama Platform ๐Ÿ˜Ž Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐Ÿฅณ

Ch. 68 - Back To You

Sandrine menyadari ketenangan barunya rapuh pada satu titik tertentu—titik bernama Axel—ketika suatu sore, ia menyelesaikan revisi laporan Maestro dan berdiri dari kursi. Ruangan kantor lantai 37 sudah setengah kosong, sebagian besar staf mulai pulang. Hanya suara printer dari kubikel jauh yang masih beroperasi.

Ia merapikan map, menutup laptop, dan mengambil tas. Ketika melangkah menuju lift, ia berhenti sejenak karena dering pesan masuk.

Dari Kellan. Yang mulai mencemaskan Sandrine karena hanya dia satu-satunya yang sadar bahwa ketenangan Sandrine mulai terganggu.

[“Kamu pulang sekarang? Mau aku tunggu?”]

Sandrine mengetik cepat.

[“Tidak. Kamu duluan. Aku baik-baik saja.”]

Balasan berikutnya datang.

[Aku belum melihatnya turun.]

Itu sebuah peringatan agar Sandrine berhati-hati.

Axel. Yang dimaksud Kellan. Yang ia khawatirkan mencegat Sandrine di satu titik buta Cascade Tower.

Sandrine belum membalas dan menekan tombol lift. Pintu perlahan terbuka.

Axel ada di dalam.

Ia berdiri di pojok kanan, satu tangan disilangkan, satu lagi memegang map tipis berisi catatan rapat. Tatapannya tidak kaget, tidak terkejut, seolah ia sudah tahu Sandrine akan muncul di detik itu juga.

Sandrine ragu setengah detik. Hanya setengah. Tapi cukup lama untuk Axel memperhatikan.

Ia mengangguk kecil. “Masuk saja. Aku tidak menggigit.”

Nada itu tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang dulu penuh amarah.

Sandrine melangkah masuk. Pintu tertutup di belakang mereka, memerangkap udara hening dan jarak yang anehnya terasa sempit meski lift cukup luas.

Axel tidak melihatnya. Atau pura-pura tidak. Matanya ke depan, tetapi bahunya selalu mengarah sedikit ke sisi Sandrine, kebiasaan kecil seseorang yang terlalu sadar dengan kehadiran orang tertentu.

Sandrine menekan tombol lantai dasar. Lift bergerak turun.

Setelah beberapa lantai, Axel berbicara. Pelan. Pasti.

“Kamu bekerja rajin sekali hari ini.”

Tidak ada intonasi formal. Tidak ada nada ingin menyenangkan siapa pun. Hanya pernyataan datar, seperti seseorang yang menilai fakta dari jauh.

Sandrine mengangguk. “Terima kasih.”

Axel meliriknya sekilas. Bukan untuk mencari persetujuan, lebih seperti memastikan bahwa ia masih ada di sana.

“Kamu bekerja terlalu larut,” komentar Axel. “Itu tidak aman.”

Sandrine mengatur napas. “Aku biasa pulang malam.”

“Bukan berarti itu hal yang… pantas kamu biasakan.”

Nada itu tanpa marah, tanpa nada tinggi. Tapi Sandrine merasakan ketidaknyamanan merayap perlahan.

Lift berhenti di lantai 22 untuk beberapa detik. Tidak ada yang masuk. Pintu menutup lagi.

Axel kembali bersuara. “Kamu sudah makan malam?”

Sandrine menggeleng. “Belum.”

Axel menimbang sesuatu, atau pura-pura menimbang sesuatu. “Sebaiknya makan dulu. Jangan pulang dengan perut kosong.”

“Terima kasih, aku bisa mengurus diriku sendiri.” Suaranya profesional, sopan, berjarak.

Axel mengalihkan pandangan ke lantai angka digital yang menurun. Ia tidak tersinggung. Tidak kecewa. Hanya… mempertimbangkan ulang.

Ketika lift mendekati lantai dasar, ia menoleh sekali lagi, kali ini lebih lama.

“Kalau ada yang mengganggumu…” Axel berhenti, memilih kata. “… beri tahu aku saja.”

Sandrine tidak memahami apa yang Axel maksudkan. Atau mungkin ia memilih untuk tidak memahaminya.

“Aku baik-baik saja, Axel.”

Ia tidak menjawab. Hanya tatapan singkat, yang terlalu sunyi namun terlalu padat. Satu tatapan yang membawa beban seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu jauh sebelum percakapan ini terjadi.

Pintu lift terbuka. Suara lobi memenuhi ruang kecil itu.

Sandrine melangkah keluar lebih cepat dari biasanya. Ia tidak menoleh. Tidak mencoba membaca ekspresi di balik punggungnya.

Tapi ia bisa merasakannya.

Axel tetap berdiri di lift sementara pintu perlahan menutup. Sorot matanya mengikuti punggung Sandrine, tidak dengan keinginan muda yang salah arah seperti dulu, tidak dengan permusuhan, melainkan dengan ketenangan yang menyimpan tujuan.

Tujuan yang Sandrine belum tahu, yang Axel tidak ucapkan dan yang mulai terbentuk sejak ia mengingat sesuatu yang seharusnya terkubur. Axel bukan lagi anak muda yang hilang. Ia sedang berjalan ke arah sesuatu.

Dan langkah itu… menuju dirinya.

Ada fase ketika Sandrine masih bisa membujuk dirinya bahwa semua yang ia rasakan hanyalah residu paranoia, bahwa tatapan Axel yang terlalu lama, kebetulan-kebetulan kecil di lorong kantor, atau keheningan ganjil yang mengisi ruangan setiap kali ia masuk hanyalah imajinasi yang bekerja terlalu keras setelah apa yang terjadi di Bali.

Tapi perlahan, Axel mulai menanggalkan kerahasiaannya. Pergerakannya berubah dari samar menjadi jelas. Dari kebetulan menjadi pola. Dari jauh… menjadi sengaja.

Di ruang kerja Trias, ruang yang seharusnya menjadi ruang paling aman bagi Sandrine. Ketika bosnya tidak ada, Axel sering mampir dengan alasan yang selalu terdengar logis: tanda tangan dokumen, bertanya soal jadwal ayahnya, memeriksa laporan terbaru dari tim Maestro.

Namun setiap kali ia datang, ada satu hal yang tidak pernah berubah. Cara Axel memandangnya. Bukan tatapan kerja. Bukan penghargaan profesional. Bukan kebencian lama yang dulu mendistorsi wajahnya. Axel menggoda dengan cara yang membuat udara menjadi lebih tebal.

Lalu pada malam jamuan makan malam dengan Menteri Perdagangan, Axel tiba-tiba muncul. Dia bukan tamu undangan. Bukan ayahnya.

Dirinya. Tapi tak ada yang bisa menolak kehadiran putra Trias Tjaraka.

Sandrine mengenakan gaun hijau emerald, pilihan profesional biasa yang ia kenakan untuk acara diplomatik. Tapi bagi Axel, sepertinya warna itu seperti lampu suar.

Setiap kali Sandrine bergerak di antara meja, tatapan Axel mengikuti seperti bayangan yang terlalu sadar diri. Tidak lagi dingin. Tidak lagi kosong. Tidak lagi sekadar memandang.

Tatapan itu… cabul. Tidak agresif, tapi padat dan intens. Seperti seseorang yang menemukan kembali sesuatu yang pernah ia sentuh dan kini menagihnya tanpa suara.

Di tengah percakapan formal di meja makan, Sandrine beberapa kali menangkap Axel memiringkan kepala sedikit, menatapnya dengan bibir menahan senyum yang ia kenal betul, bukan senyum senang. Senyum kepemilikan.

Hingga akhirnya, saat tamu-tamu lain sibuk bersalaman, Axel mendekat. Tidak terlalu dekat. Tidak menyentuh. Tapi cukup untuk menurunkan udara di sekelilingnya beberapa derajat.

Sandrine bersikap profesional. Menjaga jarak. Menghitung napas. Tapi Axel mencondongkan tubuh sedikit, cukup untuk membuat kalimat berikutnya hanya tertangkap olehnya.

“Kamu tidak harus memilihku, Sandrine.”
Ia tersenyum. Tenang. Nyaris lembut.
“Tapi aku yang memilihmu.”

Kata-kata itu menancap. Tidak kasar. Tidak keras. Kehadirannya. Tatapannya. Godaan halus yang merambat seperti bayangan. Semua itu bukan lagi kebetulan. Itu adalah pengepungan perlahan. Sebuah ancaman yang dibungkus ketenangan. Obsesi yang kini mulai mengambil bentuknya dengan terang.

Karena kini Axel berhenti bersembunyi.

**

Sandrine tidak mendengar langkahnya. Hanya menyadari kehadirannya ketika udara di dalam ruangan berubah, lebih padat, seperti dinding yang mendadak merapat.

Axel berdiri di ambang pintu, bahunya bersandar seolah ia datang untuk bercakap santai. Tapi tatapannya bukan milik seseorang yang ingin berbicara baik-baik.

“Sandrine,” katanya pelan. “Ada sesuatu yang harus kita bicarakan.”

Sandrine menggenggam jemari sendiri di pangkuan. “Kalau ini soal pekerjaan—”

“Bukan pekerjaan.” Axel memotongnya dengan tenang.

Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya tanpa suara.

“Beberapa waktu lalu,” katanya sambil menatapnya seolah sedang mempelajari celah pada kulitnya, “ada seseorang yang mengatakan sesuatu padaku... yang cukup membuatku terkejut....”

Sandrine merasakan tenggorokannya mengering. “Tentang apa?”

Axel menahan jeda sebentar, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Katanya… apa yang terjadi antara kita dulu bukan hal yang pantas kita lakukan.”

Sandrine mematung. Darahnya turun drastis. Axel melanjutkan, lebih pelan, lebih tajam lagi.

“Katanya itu termasuk tindakan pelecehan.” Kedipan matanya lambat. “Bahkan sekali pun kita sama-sama menginginkannya.”

Sandrine mencoba mengatur napas. “Axel—”

“Diam dan dengarkan," Ia mengangkat tangan sedikit. “Aku hanya mengulang kata-kata orang lain.”

Tatapannya meruncing. “Faktanya hubungan seperti itu… ‘berlebihan’. Tidak sehat. Dan kamu...”, ia mencondongkan tubuh sedikit, cukup membuat Sandrine mundur satu inci... “yang menanamkan kebiasaan itu padaku.”

Sandrine menggeleng, tersengal. “Itu tidak seperti....”

“Tentu tidak,” Axel menyela ringan. “Karena waktu itu aku tidak tahu apa-apa. Dan kamu…” Ia mengembuskan napas sambil tersenyum tipis. “Kamu sudah dewasa.”

Ia tidak meninggikan suara. Tetapi setiap katanya seperti gesekan logam di tulang.

“Kamu tahu apa yang lucu bagiku sekarang?”
Axel menatapnya lama, seolah menikmati setiap reaksi kecil yang muncul di wajah Sandrine. “Sekarang aku mengerti kenapa gadis yang pernah bersamaku selalu meninggalkanku. Mereka bilang aku… ‘kasar’. ‘Gila’.” Ia tertawa pendek. “Waktu itu aku kira mereka hanya manja saja.”

Sandrine menutup mata sesaat.

“Axel, tolong hentikan.”

“Aku tidak marah padamu, Sandrine.” Axel menunduk sedikit, wajahnya hanya beberapa sentimeter darinya. “Yang marah justru bagian dari diriku yang akhirnya mengerti.” Ia menatapnya naik-turun, perlahan. “Kamu yang membuatku percaya bahwa… begitu seharusnya.”

Sandrine menarik napas yang goyah. “Kalau kamu hanya ingin menyalahkanku—”

“Oh, aku tidak menyalahkanmu sepenuhnya.” Axel menyeringai tipis. “Aku pun masih mengingkarinya sampai sekarang bahwa sebenarnya itu termasuk… pelecehan.”

Suara itu seperti sentuhan jari pada luka yang belum kering.

“Kamu mencintaiku waktu itu, kan? Walaupun tidak mau mengaku?” bisiknya. “Kamu bahkan menungguku pulang dari Boston. Aku tahu.” Ia mengangkat bahu santai. “Jadi tentu saja… sulit menyebutnya ‘salah’.”

Sandrine hampir tidak bisa merespons. Tenggorokannya seperti menyempit.

Lalu Axel berkata, sangat pelan, “Tapi sekarang, setelah semua itu…” Ia memiringkan kepala. “Aku hanya ingin membalas 'grooming' yang kamu lakukan padaku.”

Sandrine merasakan tubuhnya tercekat.

“Karena kamu bisa seenaknya menikah dengan orang lain,” lanjutnya. “Seolah-olah penyakit itu…” ia membuat gestur kecil ke arah dirinya, “…yang kamu bangunkan, bisa sembuh begitu saja.”

“Axel…” Sandrine hampir berbisik. “Aku mohon. Jangan—”

“Hiperseksualitasmu tidak sembuh, Sandrine.” Nada Axel datar, nyaris ilmiah.“ Hanya bisa dikendalikan. Aku tahu itulah yang kamu lakukan sekarang.” Ia menatapnya dengan sorot yang terlalu jernih. “Tapi kamu berpura-pura tidak tahu.”

Sandrine merasakan sesuatu yang panas dan perih memenuhi matanya. Ia berkedip cepat, berusaha mempertahankan kekuatan yang masih tersisa.

Axel melihatnya menangis, dan tersenyum kecil. Bukan senyum kemenangan. Senyum seseorang yang sedang menikmati absurditas tragedinya sendiri.

“Kamu tahu apa yang lebih konyol dari idemu soal kenikmatan di tempat tidur?” Ia berdiri sedikit lebih dekat. “Kamu menikahi pria yang pasti tidak bisa melayanimu.”

Sandrine mengisap napas pendek, seolah tertusuk.

Axel melangkah setengah langkah lagi. Tidak menyentuh, tetapi jarak itu sudah cukup untuk menusuk.

“Kamu harus menyuruh suamimu minum obat.” Nada suaranya halus, hampir lembut. “Serius. Dia pasti tidak bisa mengimbangi standar yang kamu tanamkan.”

Ia menatap langit-langit seolah sedang memikirkan hal remeh. “Aku saja yang lebih muda, masih membutuhkan obat, kamu tahu. Efek samping dari pelajaran ‘tahan lama’ yang kamu ajari.” Ia menatap Sandrine kembali. “Tidak semua orang bisa hidup dengan kurikulummu.”

Wajah Sandrine memucat. Jijik, marah, hancur, terhina, semua bercampur menjadi satu, menekan dadanya hingga sulit bernapas.

Air mata akhirnya menetes, meski ia berusaha menghapusnya cepat. Ia mencoba berdiri tegak. Mencoba tetap kuat. Mencoba tidak memberi Axel apa yang ia inginkan.

Karena ia tahu, kalau ia jatuh, Axel tidak akan berhenti. Axel melihat kekuatannya retak dan hanya berkata pelan, nyaris menyentuh:

“Jangan menangis, Sandrine.” Senyumnya tidak berubah. “Kamu yang memulai semua ini.”

Ia tidak bergerak. Tidak bisa. Seluruh tubuhnya kaku, seperti tulang-tulangnya kehilangan instruksi paling dasar untuk hidup.

"Jika kamu ingin selamat dari tragedi ini, kembalilah padaku," ujar Axel. "Lebih aman."

Sandrine menahan napas, mencoba tetap tegak. Tapi tangannya gemetar. Seluruh dunianya seakan menyempit menjadi ruang kecil itu, udara di dalamnya terasa seperti menolak masuk ke paru-parunya.

Axel membelai puncak kepalanya dengan lembut seolah ia punya cinta yang tulus.

"Dan tenang saja, Pocahontas, aku masih berpikir untuk tidak melecehkanmu sebagai balasan. Karena aku tahu... nanti kamu pasti akan merangkak sendiri padaku... dan menghisapku seperti dulu."

Axel keluar dari ruangan dan pintu tertutup kembali dengan bunyi lembut yang terasa seperti palu.

Kata-kata Axel, dingin, perlahan, tenang, masih menempel pada kulitnya seperti noda yang tidak bisa ia hapus. Setiap kalimat terasa berlapis-lapis: sebagian tuduhan, sebagian kebenaran, sebagian kebencian yang diarahkan ke masa lalu yang gagal ia cegah. Dan sebagian lagi… sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang Axel simpan untuk dirinya sendiri.

Posted by
Home Stories Wattpad Instagram Facebook TikTok Threads
Tautan disalin

Komentar

1 comments: