๐ Webnovel Anti Drama Platform ๐ Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐ฅณ
Ch. 70 - Ruptured
Sandrine tahu sesuatu telah berubah bahkan sebelum Trias membuka mulut. Cara pria itu berdiri di depan jendela, bahunya sedikit jatuh, napasnya pelan namun berat, semuanya memberi tanda bahwa percakapan ini bukan sekadar teguran biasa.
“Duduklah,” katanya tanpa menoleh.
Nada itu lembut… tapi bukan lembut yang pernah ia kenal. Dulu, suara Trias selalu mengandung sesuatu: keyakinan pada kemampuan Sandrine, respek yang tulus pada kerja keras dan ketegasannya. Sekarang, suara itu kosong. Formal. Seperti membaca instruksi di kertas.
Sandrine duduk perlahan, berusaha mengatur napas.
Trias baru menatapnya setelah beberapa detik. Tatapan itu membuat tubuhnya hampir menegang. Tak ada lagi kekaguman lama yang sering ia lihat saat presentasi, atau kepercayaan mendalam ketika ia diberi tanggung jawab besar.
Mata Trias kini seperti menilai seseorang yang ia pikir sudah ia kenal… dan ternyata ia salah.
“Aku sudah tahu apa yang terjadi di Frankfurt,” ucapnya tenang. "Hal yang selama ini kalian tutup-tutupi. Kamu, Axel, Kellan dan Nixie."
Kalimat yang sederhana. Tapi dunia Sandrine seperti runtuh pelan.
"Aku sudah lama tahu bahwa putraku melakukan hal-hal yang tak seharusnya selama di sana. Aku tidak mencari tahu karena bagiku itu hanya kenakalan remaja. Aku tetap menghargai privasi putraku... dan keponakanku. Yang pasti... saat itu aku pikir putraku berurusan dengan gadis lain."
Trias menyatukan kedua tangan, jemarinya bergerak pelan seakan mencari kata yang paling minim untuk tak melukai… atau mungkin untuk tidak menunjukkan betapa ia sebenarnya terluka.
“Aku berharap kamu jujur dari awal bahwa ternyata itu adalah dirimu.”
Satu jeda.
“Dan terus terang, aku memang kecewa. Bukan karena kamu gadis yang tidak sepadan dengan putraku, tapi kamu menahan sesuatu yang begitu penting sehingga menimbulkan ledakan yang besar di kemudian hari.”
Kata itu menggema di dalam Sandrine. Kecewa. Lebih buruk dari marah.
"Dan hari itu adalah sekarang. Dan tentu saja, apinya tidak hanya membakarmu dan Axel. Tapi semua orang. Dan yang paling menyedihkan di sini adalah... suamimu...."
"Maafkan saya, Pak...," ucap Sandrine, menelan ludah.
“Tapi aku mengerti,” Trias melanjutkan, suaranya melemah sedikit. “Kamu takut menyinggungku. Kamu berusaha mempertahankan karier yang kamu bangun dari nol. Kamu juga merasa tidak ingin menecewakanku dengan pengakuan semacam itu. Dan... kamu pikir Axel juga sudah pergi dan tidak akan kembali lalu bisa melanjutkan hidup.”
Ia menatap Sandrine lagi, kali ini lebih lama.
Dan itulah bagian yang paling menyakitkan: Trias tidak melihatnya sebagai Sandrine yang ia banggakan dulu. Tidak sebagai sosok pekerja keras yang pernah ia puji. Tatapan itu seperti menembusnya, mencari sosok yang dulu ia hormati… dan tidak menemukannya di sana.
“Yang aku tahu sekarang,” kata Trias, “Axel terobsesi padamu. Itu fakta. Dan itu bukan salahmu. Ini hanya dinamika kehidupan orang-orang muda seperti kalian."
Kalimat itu seharusnya melegakan, tapi cara Trias mengatakannya seperti orang yang memaksakan diri agar tetap adil meskipun perasaannya sudah terlanjur retak.
“Aku akan mengendalikan Axel,” lanjutnya. “Percayalah, aku tidak akan membiarkannya melewati batas atau mengusikmu dengan semena-mena.”
Sandrine mengangguk perlahan, meski tenggorokannya terasa menutup.
“Tapi, Sandrine, kamu juga harus menegakkan batasmu sendiri.” Nada Trias menegang sedikit. “Jika kamu benar tidak punya perasaan apa pun lagi… tetaplah pada prinsipmu. Jangan beri celah. Jangan ikut terseret.”
Itu bukan tuduhan. Tapi sebuah penilaian. Sesederhana itu, setelanjang itu.
Trias kemudian bersandar ke kursinya, wajahnya kembali netral. Tidak dingin dan kejam tapi seperti seseorang yang memilih memisahkan simpati pribadi dari keputusan profesionalnya.
“Kau masih salah satu pegawai terbaikku,” katanya. “Aku tidak akan menyinggung itu. Tapi… mulai sekarang, kita kembali pada hubungan kerja. Tidak lebih. Aku tidak akan mencabutmu dari Maestro."
Sandrine menahan napas.
Ia tahu maksudnya: tidak ada lagi percakapan di luar jam kantor. Tidak ada lagi kecenderungan Trias untuk mempercayakan rahasia hanya karena ia yakin Sandrine bisa dipercaya. Tidak ada lagi kehangatan paternal yang pernah membuatnya merasa dihargai lebih dari sekadar angka di laporan.
Semua itu hilang. Tidak karena kebencian—melainkan karena jarak.
“Terima kasih, Pak Trias,” ucap Sandrine pelan.
Trias hanya mengangguk. Tidak tersenyum. Tidak melembut. Sekadar anggukan profesional yang tepat, sopan, dan… kosong.
Sandrine berdiri, menunduk sedikit, dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia sempat menoleh. Trias menatap mejanya, bukan dirinya. Tatapan itu penuh ketenangan, tapi tidak lagi mengandung keyakinan apa pun tentang dirinya.
Pintu tertutup pelan. Hatinya sakit menyadari bahwa ia kehilangan seseorang yang dulu melihatnya lebih dari sekadar pegawai. Seseorang yang percaya bahwa masa lalu yang buruk tidak menentukan masa depan seseorang sepenuhnya. Luka itu jauh lebih dalam daripada yang ia kira.
**
Sandrine memilih tempat paling netral yang bisa ia pikirkan: sebuah kedai kopi di lobi hotel, terlalu terang, terlalu ramai, terlalu aman untuk pembicaraan seperti ini. Ia duduk di pojok, menggenggam cangkir yang sudah tidak panas lagi. Tangannya bergetar kecil, meski ia mencoba menyembunyikannya di balik meja.
Jay datang tanpa banyak suara. Hanya sebuah langkah mantap, jaketnya disampirkan asal di lengan, dan tatapan yang langsung membaca keadaan tanpa perlu Sandrine berkata apa pun.
Ia duduk di depannya. Dan diam sejenak.
“Kelihatannya buruk,” ujar Jay akhirnya, pelan tapi jelas.
Sandrine menunduk. “Trias sudah tahu.”
Jay menghela napas panjang. Tidak kaget. Tidak dramatis. Tapi ada kilatan oh, akhirnya di matanya.
“Seberapa banyak yang dia tahu?”
“Cukup untuk membuatnya… menjauh.”
Suara Sandrine pecah sedikit. “Dia tidak marah. Tapi… kecewa.”
Jay hanya menatapnya. Tatapan yang tidak memihak. Tidak menuduh. Tapi tetap tajam.
“Kamu yang memangilku ke sini bukan hanya untuk mengatakan itu, kan?” tanya Jay, nadanya datar.
Sandrine meremas jemarinya. “Aku… butuh bantuanmu.” Ia menatap Jay seperti seseorang yang meminta tali ketika sudah setengah tenggelam.
“Jay… tolong benar-benar awasi Axel. Jaga dia. Jaga agar dia tidak—” Napasnya tercekat. “Tidak melakukan sesuatu yang bisa menghancurkan hidupku. Atau hidup Sabian. Rumah tanggaku.”
Jay bersandar ke belakang, menatapnya lama. Wajahnya tidak berubah, tapi bahunya turun sedikit, seperti seseorang yang baru menyadari betapa dalam luka Sandrine sebenarnya.
“Kenapa kamu pikir Axel akan nekat? Dia tenang-tenang saja akhir-akhir ini,” tanyanya.
Sandrine menutup mata sejenak. “Karena aku melihatnya. Di matanya. Tekadnya… bukan cinta, Jay. Itu obsesi. Dan… aku tahu obsesi seperti apa yang bisa dilakukan oleh orang seperti Axel. Kamu tahu dia selalu tenang sebelum membuat masalah baru.”
Jay menatapnya lebih lama setelah kalimat itu. Sandrine tahu ia paham maksudnya, bahwa ia pernah melihat obsesi itu lebih dekat daripada siapa pun. Bahwa ia pernah memanfaatkannya. Bahwa ia bersalah.
Jay akhirnya bicara.
“Aku akan mengawal Axel karena itu memang tugasku” katanya. “Aku akan memastikan dia tidak menyentuhmu, tidak mendekat, tidak mengganggu hidupmu atau suamimu.”
Sandrine menghela napas lega, atau setidaknya mencoba.
“Tapi,” Jay menyambung, suaranya berubah lebih tajam. “kamu harus tahu satu hal, Sandrine.”
Sandrine mengangkat wajah.
“Kamu juga harus mengendalikan dirimu sendiri.”
Sandrine menegang. Trias juga sudah mengatakan hal yang sama.
Jay mencondongkan tubuh sedikit. “Aku mendengar banyak tentangmu dari Axel. Bahkan hal-hal yang tidak pernah dia ceritakan pada siapa pun. Tidak pada sepupunya. Juga tidak pada ayahnya. Jadi aku tahu... bahwa seharusnya dia tidak menanggung ini sendirian. Di luar obsesinya, dia punya alasan kuat memintamu kembali dan itu masuk akal."
Sandrine membuka mulut untuk membantah, tapi tidak ada kata yang keluar.
Dan Jay melanjutkan.
“Aku tidak bilang kamu masih memiliki perasaan padanya.”
Jeda.
“Tapi aku ingin mengatakan..., pasti ada sesuatu di dalam dirimu yang… bisa goyah kalau kamu tidak hati-hati. Karena itulah kamu menemuiku hari ini. Kamu takut, dirimu sendiri tidak cukup kuat menahannya. Karena itu kamu membutuhkanku sebagai pihak luar yang mengerti situasi ini."
Sandrine menunduk, rahangnya mengeras. Kata-kata Jay bukan tuduhan. Itu cermin. Dan ia benci betapa tepatnya cermin itu.
“Sama seperti Trias,” ujar Jay, lebih lembut, “Axel bertanggung jawab atas obsesinya sendiri. Tapi kalau kamu ingin semuanya tetap terkendali, kamu harus tegas. Bukan hanya pada Axel. Tapi juga pada dirimu sendiri.”
Sandrine mengusap kening, matanya memanas. “Aku tidak menginginkannya lagi, Jay.”
“Aku tahu.” Jay menatapnya lebih lama. “Tapi itu tidak cukup kalau kamu masih… rentan.”
Sandrine merasakan sesuatu di tenggorokannya: malu, takut, marah pada diri sendiri.
Jay kemudian bersandar tegak kembali, kepribadiannya berubah ke mode praktis.
“Aku akan menjaganya,” katanya mantap.
Sandrine menatapnya, bibirnya bergetar ringan. “Jay… terima kasih.”
Jay mengangguk, tapi matanya tetap keras.
“Aku tidak akan campur lebih jauh tapi ingatlah, ini bukan hanya soal menghindari bencana,” katanya. “Ini soal dirimu yanh harus bisa membuktikan bahwa kamu sudah selesai dengan bagian hidupmu yang lama.”
Sandrine menggenggam cangkir itu lebih erat.
Jay berdiri lebih dulu, mengenakan kembali jaketnya.
“Aku akan mengurus sisanya,” katanya. “Tapi kamu… jangan buka pintu sedikit pun. Axel akan menerobosnya.”
Lalu Jay pun pergi.
Hahaha si Pevita kocak euy... Tp aku merindukan Sabina...
Next nya knp ga bisa say?
Aku baru nemu My Evil Boss kemarin. Niatnya cuman mau baca santai eh malah ketagihan dan akhirnya binge-reading sampe chapter yang ini. Ceritanya kayak Roller-Coaster, sukses bikin emosi naik turun. Semangat nulisnya mbak! Saya ketagihan :D
klo ak sih suka sm karakternya fero....