๐ Webnovel Anti Drama Platform ๐ Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐ฅณ
Ch. 1 - Conscience
Obat itu masih di sakunya. Kecil, tapi menekan pikirannya seperti beban yang tidak mau lepas. Axel menggulingkannya di antara dua jari, menatap benda itu tanpa ekspresi. Ia tidak mengerti kenapa belum membuangnya.
Mungkin karena penasaran. Mungkin karena sombong. Atau karena ia tahu, tanpa itu, ia tidak punya rencana apa pun.
Dion memberikannya dengan senyum ringan, seolah menyodorkan solusi sederhana. Tapi bagi Axel, solusi seperti itu justru terasa busuk. Ia benci bahwa dirinya sempat mempertimbangkannya. Dan ia benci lebih dalam lagi karena rasa bersalah sudah muncul sebelum apa pun terjadi.
Beberapa hari lalu, ia berdiri tidak jauh dari Sandrine di ruang kerja Trias. Bicara seperlunya. Senyum seperlunya. Gerak yang ia atur dengan ketelitian seperti latihan. Sandrine hanya menanggapi secukupnya, tenang, rapi, stabil.
Tidak ada gugup. Tidak ada gelisah. Tidak ada pecahan masa lalu yang tersisa.
Dia benar-benar selesai denganku, pikir Axel. Sebuah kesimpulan yang lebih jelas daripada amarah mana pun.
Kebencian bisa dibalas. Ketakutan bisa dimanfaatkan. Tetapi ketenangan seperti itu, ketenangan seseorang yang sudah pulih sepenuhnya, membuatnya merasa seperti hantu yang tidak lagi menakuti siapa-siapa.
Axel menekan puntung rokok di piring kecil. Gerakan singkat, hampir tanpa suara.
Ayahnya pun tahu. Dan reaksinya jauh lebih sederhana daripada yang ia bayangkan.
“Kalau kamu menghancurkan satu lagi orang yang bekerja dengan Papa, Papa sendiri yang akan menyingkirkanmu.”
Kalimat itu turun seperti perintah administratif. Tidak ada nada tinggi. Tidak ada ancaman yang dibungkus emosi. Justru karena itu, kalimat tersebut terasa final.
Trias melihat Sandrine bukan sebagai pegawai. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang berharga, sesuatu yang mewakili apa yang tidak pernah bisa ia miliki dalam keluarganya sendiri. Audrey telah hilang dalam kekacauan. Dan kini Axel kembali ditempatkan di sisi yang sama: sisi yang rawan merusak.
Ayahnya lebih percaya pada siapa pun selain dirinya. Bahkan pada perempuan yang pernah ia sentuh di masa lalu. Perempuan yang, entah bagaimana, kini menjadi indikator stabilitas keluarga.
Lucu. Atau tragis. Atau keduanya.
Axel menutup mata sejenak. Ia sudah berusaha keras menjadi versi yang lebih terkendali. Penampilannya rapi, langkahnya teratur, bahasanya dipoles. Semua itu bertahan, sampai ia berdiri di hadapan Sandrine.
Perempuan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia rekayasa. Ia menelanjanginya tanpa bicara. Sandrine tidak perlu melakukan apa pun; ketenangannya saja sudah cukup membuat Axel merasa kembali seperti dirinya yang dulu.
Atau lebih buruk, seperti bayangan dari apa yang gagal ia capai.
Sandrine adalah bukti bahwa seseorang bisa berantakan, hancur, lalu bangkit lagi. Sementara ia… masih di sini, memegang pilihan yang memalukan dalam sejumput obat.
Ia membuka mata dan melihat benda itu lagi. Mungkin ini bukan tentang Sandrine. Mungkin ini cuma tentang dirinya sendiri—tentang mencoba memastikan bahwa ia masih mampu mengambil keputusan, betapa pun salahnya.
Jari-jarinya bergetar. Marah, mungkin. Takut, mungkin.
Atau karena untuk pertama kalinya, ia sadar betapa rapuhnya batas yang selama ini ia pikir tidak dimilikinya.
**
Komentar
0 comments