Chapter 69 - Check Point

๐Ÿ˜Ž Webnovel Anti Drama Platform ๐Ÿ˜Ž Buat kamu yang bosan dengan chapter berbayar, kamu bisa temukan dan BACA novel dewasa romantis Bahasa Indonesia secara ONLINE hanya di sini. Cerita baru sudah tersedia. Chapternya lengkap, GRATIS, tanpa download aplikasi, tanpa log in, tanpa koin, tanpa langganan premium, dan update tiap hari๐Ÿฅณ

Ch. 69 - Check Point

Ruangan Trias yang biasanya menjadi tempat aman Sandrine berubah menjadi ruang vakum ketika Axel masuk. Sunyi itu bukan hanya karena pintu tertutup, tetapi karena sesuatu yang sudah lama ia kenali kembali berdiri di hadapannya, ketidakstabilan yang dulu pernah ia rawat, lalu tinggalkan.

Sandrine merasakan jantungnya mempercepat ritme, tapi pikirannya tetap jernih. Ia sudah melewati fase-fase terburuk dari hidupnya; rasa panik semacam ini tidak lagi mampu mengguncang fondasinya. Axel boleh saja mencoba menggali masa lalu, memuntahkan ulang setiap lapisan luka yang pernah mereka bagi, tapi Sandrine sudah menutup bab itu lama sebelum Axel kembali.

Saat Axel menuduh, saat ia memelintir ulang sejarah dengan nada tenang yang mematikan, Sandrine merasakan sesuatu yang dulu tidak ia punya, ketegasan yang tidak bisa dicuri.

Dan ketika kata-kata itu keluar, ia tidak menyesali apa pun. Tidak satu huruf pun.

Setiap kali Axel menggiring pembicaraan pada “grooming”, “pelecehan”, atau “kebiasaan buruk” yang seolah ia wariskan, Sandrine tahu itu bukan kebenaran, itu hanya senjata. 

Senjata dari seseorang yang tidak pernah tahu cara meminta maaf atau menerima tanggung jawab. Dulu ia mungkin akan runtuh oleh rasa bersalah. Kini tidak. Penjaga terakhir masa lalunya sudah lama ia kubur, jauh sebelum ia menikah, jauh sebelum ia kembali ke Jakarta.

Ketika Axel menariknya, menghimpitnya pada meja Trias, ketika tumpukan dokumen berjatuhan seperti serpihan masa lalu mereka, Sandrine tidak merasa kecil. Ketakutan memang ada, getar tipis di antara tulang dan napas, tapi itu bukan ketundukan. Itu hanya tubuh mengingat trauma; pikirannya tetap tegak.

Ia tahu Axel mencoba menguji batasnya; mencoba melihat apakah ia masih bisa mematahkan Sandrine dengan kalimat-kalimat yang pernah membuatnya hancur.

Tapi tidak ada satu pun yang berhasil menembus logika Sandrine sekarang. Ia mendengar semuanya seperti seseorang yang duduk di balik dinding kaca, dengar, pahami, tapi tidak terseret.

Ketika Axel menyebut Sabian, ketika ia meniupkan ancaman terselubung tentang rahasia masa lalu, Sandrine tidak gentar. Kalau Sabian mengetahui semuanya, maka ia akan tahu. Sandrine tidak lagi hidup untuk melindungi luka yang Axel buat atau menutupi aib yang bukan sepenuhnya miliknya.

Ia hanya takut pada satu hal: terjebak lagi dalam permainan emosi Axel. Dan itu ia tolak dengan seluruh hidupnya.

“Aku juga harus melanjutkan hidupku. Kamu bukan satu-satunya yang berhak bebas.”

Kalimat itu bukan nostalgia. Melainkan pengakuan final bahwa apa pun yang pernah terjadi di antara mereka tidak lagi memegang kuasa atas dirinya.

Saat ia melangkah pergi dan melepaskan lengan Axel dari genggamannya, tidak ada getaran ragu di langkahnya. Ada rasa iba melihat seseorang yang pernah ia sayangi tenggelam dalam obsesinya sendiri, tapi tidak ada keinginan untuk kembali masuk ke api itu.

Ia menutup pintu bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai keputusan. Kalau suatu hari Sabian bertanya, ia akan menjawab. Kalau konsekuensinya merusak hidupnya, ia akan berdiri dan menanggungnya.

Namun satu hal tidak akan pernah ia lakukan lagi: membiarkan Axel mendikte apa yang harus ia sesali. Ia sudah pulih. Ia sudah selesai.

Axel hanya terlambat menyadarinya.

**

Beberapa menit kemudian, gedung Skyline muncul. Sandrine memarkir mobil, mematikan mesin, dan duduk sejenak. Tangannya menggenggam setir, erat, lalu perlahan mengendur. Ia keluar, melangkah menuju apartemen tanpa menoleh ke belakang.

Pintu terbuka. Sabian ada di sofa, laptop di pangkuan, kepala langsung terangkat saat melihatnya.

Sandrine tidak mengatakan apa pun. Ia menurunkan tas, berjalan cepat, dan memeluk Sabian seolah gravitasi menariknya tepat ke arah itu. Sabian menyambutnya dengan satu gerakan sederhana: tangan di punggungnya, tenang, mantap.

“Kamu terlihat lelah. Semuanya baik-baik saja?” suaranya rendah.

Sandrine hanya menggeleng kecil di pundaknya. “Aku ingin di sini.” Nadanya tipis, hampir datar, tapi tidak goyah.

Sabian mengusap punggungnya perlahan, ritmenya stabil. Sandrine membiarkan dirinya diam, namun tubuhnya masih menegang di beberapa titik, terutama di pergelangan tangan. Bekas sentuhan Axel muncul dalam bentuk getaran kecil di ototnya, tak terlihat, tapi sulit diabaikan.

Ia menarik napas pendek, lalu duduk di pangkuan Sabian tanpa memberi ruang jeda. Tangannya naik ke rahang Sabian, dan ia menciumnya, cepat, dalam, mendesak. Tidak ada kelembutan yang biasa ia bawa. Gerakannya lebih seperti seseorang yang menutup pintu sebelum angin masuk.

Sabian sempat terhenti, namun membiarkannya.

Sandrine memperdalam ciuman, seolah tiap detik yang ia tekan adalah jarak yang ia paksa antara dirinya dan sesuatu yang ingin kembali muncul dari pikirannya. Ketika Sabian menyentuh pinggangnya dengan lembut, bahunya justru menegang. Hanya sebentar, tapi cukup jelas untuk dirinya sendiri.

Ia menahan napas, mencari kendali yang hilang beberapa jam lalu. Mencari ruang tanpa bayangan Axel.

Beberapa saat kemudian mereka berhenti, bukan karena lega, tapi karena Sandrine kehabisan ruang untuk melarikan diri. Ia menunduk di dada Sabian, napasnya berat namun terkendali. Jari-jarinya menggenggam kaus Sabian, diam, bukan untuk meminta, tapi untuk menahan dirinya tetap berada di sini.

Sabian tidak bertanya. Ia hanya menempatkan tangan di belakang kepala Sandrine, menjaga agar dunia di luar tidak menyentuhnya.

Sandrine menutup mata. Suara Axel masih muncul, pendek, tajam, lalu perlahan hilang di antara detak jantung Sabian.

Tidak benar-benar hilang. Tapi cukup melemah.

Cukup untuk malam ini.

Posted by
Home Stories Wattpad Instagram Facebook TikTok Threads
Tautan disalin

Komentar

0 comments